Changbin as Lewis Clarence | Bangchan as Christopher Brixton
- gitaaa
Di bawah langit yang sama, dua hati berdegup dalam pertarungan abadi,
Lewis, dengan matanya yang penuh kegelisahan,
Dan Chris, dengan tekad yang menggebu-gebu dalam setiap langkahnya.
Mereka adalah cermin bagi satu sama lain, saling memantulkan kegigihan dan ketakutan,
Namun, takdir memintal benang merah yang tak terlihat,
Dan dalam keberhasilan yang diraih, mereka kehilangan diri sendiri.
Mereka adalah pelajaran hidup, cermin dari dunia yang tak pernah cukup,
Bahwa persaingan bukanlah ajang untuk saling mengalahkan,
Namun, panggung untuk saling menguatkan dan menginspirasi.
Kisah mereka, selembar kanvas yang tercipta dari lukisan pahit dan manis,
Sebuah cerita yang mengajarkan bahwa di antara ambisi dan persaingan,
Kita semua adalah manusia, rapuh namun penuh dengan potensi yang tak terbatas.
Di sebuah sekolah bergengsi di pinggiran kota, kisah persaingan antara Lewis dan Chris menjadi legenda yang diingat oleh setiap siswa yang menginjakkan kakinya di koridor-koridor sekolah itu. Mereka adalah dua pilar kecerdasan dan ambisi, yang tampaknya tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Ketika matahari menyapa pagi itu, lorong-lorong sekolah masih sunyi, namun di dalam hati Lewis, kegelisahan menyala dengan hebatnya. Ia merasa terusik dengan pemikiran bahwa Chris, rival terkuatnya, mungkin akan berhasil menggusurnya dari posisinya di puncak kelas. Dengan hati yang berdegup kencang, Lewis segera melangkah menuju sekolah, membawa keinginan yang membara untuk membuktikan dirinya. Saat kelas-kelas mulai terisi dan suara bel pertama bergema, suasana di ruang kelas terasa tegang. Semua pandangan tertuju pada Lewis dan Chris, dua sosok yang telah menjadi pusat perhatian sekolah dalam ajang persaingan yang tak ada habisnya. Begitu ujian besar dimulai, keduanya seperti dua pejuang yang beradu strategi, mencoba mengungguli satu sama lain dalam setiap soal yang diberikan. Namun, pertarungan mereka tidak hanya terjadi di dalam kelas. Di lapangan olahraga, mereka sama-sama menjadi motor penggerak bagi tim masing-masing, saling berlomba untuk meraih kemenangan. Lewis berlari dengan sekuat tenaga, mencoba melampaui langkah-langkah Chris yang begitu cepat. Namun, Chris tidak tinggal diam, ia memberikan perlawanan dengan semangat yang sama kuatnya. Ketegangan mencapai puncaknya saat akhirnya pengumuman nilai dilakukan. Detik-detik tersebut terasa seperti abad bagi Lewis dan Chris. Keduanya duduk dengan tegang, menanti-nantikan hasil yang akan menentukan siapa yang akan menjadi yang terbaik. Saat nama mereka dipanggil dengan nilai sempurna, sebuah senyuman kecil melintas di wajah keduanya. Namun, senyuman itu segera menghilang saat kenyataan menampar mereka: hanya satu dari mereka yang bisa menjadi yang pertama. Di lorong sekolah yang sepi, tatapan Lewis dan Chris bertemu, penuh dengan determinasi dan keinginan untuk menang. Tanpa sepatah kata pun terucap, mereka saling memahami bahwa pertarungan mereka belum berakhir. "Gabakal ada yang gantiin posisi gue!" seru Lewis, suaranya gemetar oleh keinginan yang begitu kuat. "Dan lo gabakal bisa kalahin gue!" balas Chris dengan mantap. Tanpa sadar, emosi yang membara meledak menjadi pertengkaran fisik. Dorongan dan pukulan saling terjadi, tanpa ampun. Mereka telah melupakan segalanya, kecuali ambisi mereka untuk menjadi yang terbaik. Guru dan siswa lain segera berusaha memisahkan mereka, tetapi kebencian yang telah terakumulasi begitu kuat membuat mereka sulit untuk dihentikan. Akhirnya, keamanan sekolah berhasil menenangkan situasi yang memanas itu. Lewis dan Chris terpaksa dipisahkan, tetapi dendam yang mereka rasakan masih membara di dalam hati masing-masing. Pertarungan itu berakhir dengan hukuman berat bagi keduanya dari pihak sekolah. Namun, bahkan dalam kekalutan dan penyesalan, ambisi mereka tidak pernah luntur. Beberapa tahun berlalu, tetapi bayang-bayang masa lalu masih menghantui sekolah itu. Kabar menyedihkan pun datang: Lewis ditemukan tewas bunuh diri, dan Chris terpuruk dalam kehidupan yang hancur akibat penyalahgunaan narkoba. Persaingan mereka telah memakan korban, merenggut masa depan yang seharusnya cerah. Dalam keheningan yang menyelimuti lorong-lorong sekolah, kata-kata Lewis terpatri dalam pikiran mereka semua, sebagai pengingat akan tragisnya akhir dari persaingan yang begitu membutakan mata mereka. Yang seharusnya menjadi motivasi untuk mencapai yang terbaik, malah berubah menjadi bencana yang menghancurkan.
0 comments:
Post a Comment