Friday, 1 March 2024

Way Of Life

 


Jake as Azka.
Sunghoon as Satya.

Di malam yang dingin, seorang pemuda berjalan tanpa tujuan di jalanan yang sepi. Tas ranselnya tergenggam erat, memuat beban yang tak hanya terlihat dari fisiknya, tapi juga dari matanya yang penuh dengan keputusasaan. Langkahnya berat, seakan-akan ia memikul beban dunia sendirian.


Namun, ketika ia hendak melangkah ke dalam kehampaan itu, seorang pemuda misterius datang dan menghalanginya dengan keras. Dan ia menawarkan telapak tangan untuk menolongnya. Dengan ragu, ia menerima pertolongan itu, tanpa tahu bahwa pertemuan itu akan menjadi titik balik bagi kehidupannya yang suram.

Pemuda menatapnya dengan penuh kekhawatiran, memohon padanya untuk tidak melakukannya. Keberadaannya yang tak terduga membuat pria itu terdiam, merasakan getaran kecil harapan di tengah kegelapan putus asanya.

Pemuda itu, dengan suara parau, mengungkapkan keraguannya atas keberadaan pemuda itu. Namun, pemuda itu dengan lembut meyakinkannya bahwa setiap jiwa berharga, termasuk miliknya.

Pemuda itu, dengan suara yang tegas namun penuh empati, mengatakan padanya, "Jangan buang sia-sia kehidupanmu." Itu adalah kalimat sederhana namun sarat makna, yang menciptakan dentuman baru di dalam hati pria itu.

Dengan pandangan yang masih kosong, pria itu yang menggunakan seragam yang membalut dirinya bernama Azka, meresapi kata-kata pemuda itu. Perlahan, getaran harapan mulai merayap ke dalam keputusasaannya yang dalam.

Pemuda di depannya, sambil memperkenalkan dirinya sebagai Satya, menawarkan tangan dengan penuh pengertian. Azka menatapnya, menyadari bahwa di tengah gelapnya keputusasaan, mungkin ada cahaya harapan yang datang melalui kehadiran pemuda misterius ini.

Satya mengajak Azka untuk makan di tempat makan dekat kosnya. Meskipun masih terdapat keraguan dalam hatinya, Azka merasa ada kehangatan yang tersirat dari tawaran itu. Dengan langkah ragu namun juga penuh harapan, mereka berdua berjalan menuju tempat makan tersebut.

Tempat Makan..

Di tempat makan, suasana hangat dan ramah menyambut kedatangan mereka. Satya dan Azka duduk di sebuah meja kecil di sudut ruangan, di mana cahaya lembut lampu meja menyinari wajah mereka. Mereka memesan hidangan favorit mereka sambil berbagi cerita tentang hidup masing-masing.

Perlahan tapi pasti, Azka merasa keterbukaan dalam berbicara kepada Satya. Pemuda itu mendengarkan dengan penuh perhatian, tak pernah menghakimi atau mengkritik. Ada kehangatan yang tercipta di antara mereka, seolah-olah Satya adalah teman lama yang telah lama hilang.

Saat mereka menikmati makanan mereka, Azka mulai merasakan benih-benih harapan tumbuh di dalam dirinya. Kehadiran Satya memberinya keyakinan bahwa mungkin, hanya mungkin, ada jalan keluar dari keputusasaannya yang melanda. Dan di tempat makan itu, di bawah cahaya lembut lampu meja, mereka berdua menemukan sedikit ketenangan dalam kegelapan yang mereka alami.

Saat makan hampir selesai, Satya secara tiba-tiba menarik perhatian Azka dengan memberikan selembar kertas. Di atasnya tertera sebuah nomor telepon bersama dengan kata-kata singkat, "Jika kau butuh seseorang untuk berbicara, aku di sini untukmu." 

Azka terkejut dengan tindakan itu, namun juga merasa tersentuh oleh kesediaan Satya untuk membantunya. Dia tersenyum, merasa dihargai dan didengar. Dengan hati yang hangat, Azka melipat kertas tersebut dan menyimpannya di dalam saku, merasa bahwa kini, meskipun masih dalam gelapnya keputusasaan, ada cahaya yang muncul dalam bentuk persahabatan yang baru ditemukannya.

Tidak ada jawaban dari Azka untuk Satya, ia memaklumkan, mungkin pemuda didepannya masih malu. 

Satya, menyaksikan keheningan Azka, menghormati keadaannya dengan sabar. Ketika Azka akhirnya mengeluarkan pulpen dan kertas, Satya memperhatikan dengan penuh perhatian. Saat membaca kata-kata yang ditulis Azka, ekspresi wajah Satya menjadi penuh dengan pengertian.

Tanpa ragu, Satya mengambil pulpen dan kertas yang tersedia di atas meja, dan dengan lembut menuliskan balasan, "Aku di sini untukmu, Azka, tak peduli apa pun keadaanmu. Persahabatan kita tidak tergantung pada kemampuan bicara. Aku akan tetap di sini untukmu, seperti yang seharusnya dilakukan seorang teman." Kemudian, ia menggesek kertas itu ke arah Azka dengan senyum lembut, memberinya kesempatan untuk membaca balasan dari temannya itu.

Azka membaca balasan Satya dengan hati yang hangat, tersentuh oleh kesetiaan dan kebaikan hati pemuda itu. Rasanya seperti menemukan sebuah mercusuar dalam kegelapan yang melanda hidupnya. Meskipun tidak bisa bicara, dia merasa dipahami dan diterima oleh Satya dengan segenap kekurangan dan keunikkannya.

Dengan senyum hangat, Azka menatap Satya, mengungkapkan rasa terima kasih yang tak terucapkan namun sungguh tulus. Di mata Azka, Satya bukan hanya sekadar teman baru, tapi seorang sahabat yang berharga, yang menerangi kegelapan hidupnya dengan kebaikan dan kesetiaannya. Dan di dalam hatinya, Azka berjanji untuk tidak pernah melupakan kasih sayang dan dukungan yang diberikan Satya, bahkan dalam keheningan yang mendalam sekalipun.


Di hari yang sama, Azka pulang dengan diantar oleh Satya. Saat mereka berdua berada di depan pintu kos Azka, Satya mengajaknya untuk pulang ke rumahnya. Namun, Azka menolak dengan lembut, menunjukkan rasa tidak nyaman dan ketakutan yang masih menghantui.

Satya, meskipun sedikit kecewa, mengerti bahwa Azka belum siap untuk membuka diri sepenuhnya. Dengan penuh pengertian, ia mengangguk, menjanjikan bahwa ia akan selalu ada jika Azka membutuhkannya, bahkan jika hanya untuk sekadar menemani dalam keheningan yang menyelimuti.

Dengan senyum kecil, mereka berpisah di depan pintu kos Azka. Satya meninggalkan Azka dengan harapan bahwa suatu hari nanti, Azka akan merasa nyaman untuk menerima bantuan dan dukungannya sepenuhnya. Dan sementara itu, Azka merasa berterima kasih atas kehadiran dan pengertian yang diberikan oleh Satya, meskipun ia belum bisa sepenuhnya membuka diri.


Setelah memasuki kosnya, Azka melihat keadaan yang biasa terjadi: barang-barang berserakan di sana-sini, mengisyaratkan kehadiran ayahnya yang tidak teratur. Meskipun Azka merasa tidak nyaman dengan situasi tersebut, dia tahu bahwa saat ini tidak ada pilihan lain selain tinggal bersama ayahnya.

Ayahnya, seorang pengangguran yang bergantung pada uang ibunya, telah menjadi beban bagi Azka sejak lama. Dan sekarang, setelah ibunya pergi meninggalkannya demi menikah dengan pria kaya, Azka merasa terjebak dalam situasi yang semakin sulit.

Dengan perasaan campur aduk, Azka mencoba untuk menciptakan sedikit kenyamanan di dalam kamar kosnya. Dia tahu bahwa dia harus menghadapi kenyataan yang sulit ini, namun dalam hatinya, keinginan untuk menemukan kebahagiaan dan kedamaian masih tetap hidup. Dalam kegelapan kehidupannya, Azka mencari cahaya harapan, bahkan jika itu hanya secercah kecil yang dapat ditemukan.

Dengan hati-hati, Azka berjinjit agar tidak membangunkan ayahnya yang tertidur akibat efek miras yang diminumnya. Di sudut kamar, dia menemukan botol kosong miras yang berserakan, sisa dari kebiasaan ayahnya yang merugikan.

Azka merasa takut untuk membangunkan ayahnya. Dia tahu bahwa jika dia melakukannya, bisa jadi akan mengundang kemarahan dan kekerasan yang mungkin akan mengakhiri hidupnya. Bekas luka di tubuhnya adalah bukti dari kekerasan yang sudah terjadi di masa lalu.

Dengan hati yang berdebar-debar, Azka mengambil langkah-langkah kecil di sekitar ayahnya, mencoba untuk tidak menimbulkan suara apa pun yang bisa membangunkannya. Dia tahu bahwa meskipun dia menderita di bawah aturan ayahnya yang keras, hidupnya masih berharga, dan dia berusaha untuk bertahan sebaik mungkin, bahkan dalam keadaan yang sulit seperti ini.

Keesokkan harinya..

Keesokan harinya, Satya duduk di taman yang dekat dengan jembatan tempat ia bertemu dengan pria bernama Azka kemarin. Dalam keheningan taman yang tenang, Satya fokus mengerjakan tugas gambarannya. Sesekali, ia bersenandung pelan mengikuti alunan lagu instrumental yang terdengar di kejauhan.

Meskipun dalam kesunyian, ada kehadiran yang hangat dan menyenangkan di sekitar Satya. Suara burung yang bernyanyi, angin yang berdesir lembut, dan cahaya matahari yang menyinari taman dengan hangat, semua itu membawa kedamaian ke dalam hatinya.

Saat melihat ke jembatan, Satya teringat pertemuan kemarin dengan Azka. Meskipun Azka tidak ada di sana saat ini, Satya merasa bersyukur telah memiliki kesempatan untuk bertemu dengan pria yang memiliki keunikan dan kebaikan hati seperti Azka. Dalam pikirannya, dia berdoa agar Azka juga menemukan kedamaian dan harapan dalam kehidupannya yang sulit. Dan dengan tugas gambarannya yang terus berkembang di depannya.

Saat Azka tidak sengaja lewat di seberangnya, Satya yang melihatnya langsung memanggil namanya dengan penuh kegembiraan. Namun, begitu ia menyadari bahwa Azka tidak dapat mendengar atau berbicara, rasa haru menyelimuti hatinya.

Sisi Azka..

Dengan langkah-langkah yang cepat, ia terus berjalan, tangan kanannya menggenggam erat kantong kresek yang berisikan miras titipan dari sang ayah.

Di dalam keheningan pikirannya, Azka merasa terjebak di antara perasaan cemas dan keputusasaan yang tak terhingga. Dia tahu bahwa mengandalkan miras untuk melupakan kehidupannya yang menyedihkan adalah keputusan yang salah, namun rasa putus asa dan ketakutan telah meracuni pikirannya.

Melihat Azka berjalan dengan langkah cepat, Satya segera mengemasi barangnya dengan cepat dan bergerak mengejar Azka. Dalam hatinya, Satya merasa perlu untuk memastikan bahwa Azka baik-baik saja, terutama setelah merasakan kegelisahan dari tatapannya yang terlihat takut dan terjebak.

Dengan langkah yang mantap, Satya mempercepat langkahnya, berusaha mengejar Azka yang semakin menjauh. Sampai akhirnya, setelah mengejar dengan penuh tekad, Satya berhasil menemukan Azka dan menjangkau tangannya dengan penuh perhatian. Dengan senyum hangat, ia berusaha menenangkan Azka, siap mendengarkan dan memberikan dukungan apa pun yang dibutuhkan oleh temannya itu.

''Azka..'' nafas tak beraturan terlihat dari Satya yang baru saja datang dan menggengam tangannya. Azka yang tak paham dengan tuturan pemuda depannya hanya memiringkan kepala tanda tak paham.

Satya merasakan kebingungan yang tampak di wajah Azka. Meskipun Azka tidak bisa mendengar atau berbicara, Satya tetap berusaha menyampaikan pesannya dengan bahasa tubuh. Dengan lembut, ia menyentuh pelan lengan Azka, menunjukkan bahwa dia ada di sana untuknya.

"Dengarkan," ucap Satya dengan lembut, meskipun ia tahu bahwa kata-katanya tidak akan sampai pada telinga Azka. "Aku di sini untukmu. Aku ingin membantumu." Meskipun Azka mungkin tidak bisa memahami sepenuhnya apa yang Satya katakan, namun ia merasakan kehangatan dari sentuhan dan tatapan pemuda di depannya.

Satya membaca tulisan yang tertulis di kertas yang baru saja diberikan oleh Azka, dan ia memahami bahwa Azka sedang terburu-buru. Dengan sikap yang penuh pengertian, Satya mengangguk, menunjukkan bahwa ia mengerti. "Tidak apa-apa, Azka," katanya dengan lembut, meskipun ia tahu bahwa Azka tidak bisa mendengar suaranya.

Dengan tangannya, Satya menuliskan balasan singkat di kertas yang sama. "Aku akan menunggumu di sini jika kamu butuhkan teman. Hati-hati, Azka." Kemudian, dengan senyum yang hangat, Satya memberikan kertas itu kepada Azka.

Dengan hati yang sedikit lega, Azka menerima kertas dari Satya dan mengangguk sebagai tanda terima kasih. Meskipun tidak bisa berbicara, Azka merasa dihargai dan didengar oleh Satya. Dengan langkah cepat, Azka berbalik dan bergegas kembali ke rumahnya.


Di rumah Azka, terlihat bahwa ia terlambat membawakan barang titipan dari sang ayah. Melihat keterlambatan itu, sang ayah menjadi emosi dan marah. Dalam kemarahannya, sang ayah memutuskan untuk menghukum Azka dengan keras.

Tanpa ampun, sang ayah menyuruh Azka untuk tidur di gudang tanpa makanan sepanjang hari, mengunci pintu gudang sebagai bentuk hukuman atas keterlambatannya. Meskipun Azka mencoba menjelaskan atau memohon ampun, namun kata-katanya tak bisa diucapkan, dan ia hanya dapat menangis dalam keputusasaan yang mendalam.

Dalam kegelapan dan kesendirian gudang, Azka merasakan pukulan emosi yang luar biasa. Meratapi nasibnya yang tak berdaya, ia bertanya-tanya apakah ia akan pernah menemukan jalan keluar dari kehidupannya yang penuh penderitaan dan keputusasaan. Dalam kegelapan itu, Azka hanya bisa berdoa agar ada cahaya harapan yang akan menyinari kehidupannya yang gelap.

Disisi Satya..

Dengan perasaan yang berat, Satya menghela nafas panjang saat ia tidak menemukan kehadiran Azka di taman dekat jembatan seperti yang diharapkannya. Meskipun ia berusaha menunggu dengan penuh harap, namun kekecewaan yang ia rasakan menambah beban di hatinya.

Dengan langkah yang berat, Satya memutuskan untuk pergi ke kampus karena sudah mendekati jamnya. Meskipun hatinya masih terpikirkan Azka dan kekhawatiran atas keadaannya, namun ia menyadari bahwa ia juga memiliki tanggung jawab dan kewajiban lain yang harus dihadapinya.

Saat duduk di kelas, Satya tidak dapat fokus dengan ajaran dari dosen. Pikirannya melayang ke kekhawatirannya tentang Azka, membuatnya gelisah dan tidak dapat memusatkan perhatiannya pada pelajaran. Setiap kata dari dosen terasa seperti berat, dan ia merasa tertekan karena tidak bisa menemukan kehadiran Azka di taman.

Apa yang diajarkan dosen tentang seni dimasa lalu, yang seharusnya menarik perhatian Satya, terasa membosankan dan tidak relevan bagi pikirannya yang sedang dipenuhi dengan keprihatinan terhadap Azka. Ia mengerutu dan ingin cepat pulang, mengabaikan sepenuhnya pelajaran yang sedang disampaikan. Dalam pikirannya, Satya hanya ingin segera kembali ke taman dekat jembatan untuk mencari Azka. Kecemasannya terhadap temannya itu membuatnya sulit untuk fokus pada hal lain.

Malamnya.. disisi Azka..

Malam datang dengan keheningan yang menyedihkan. Terkurung di dalam gudang tanpa makanan dan terkunci, Azka merasa putus asa dan kesepian. Dalam kegelapan yang menyelimuti, ia merenungkan nasibnya yang tidak adil, terjebak dalam lingkaran penderitaan yang tak kunjung berakhir.

Dalam keheningan malam yang gelap, Azka hanya bisa berdoa agar ada cahaya harapan yang menyinari jalannya, dan mungkin, hanya mungkin, ia bisa menemukan jalan keluar dari kegelapan yang membelenggunya. Dengan hati yang berat dan pikiran yang penuh dengan ketidakpastian, Azka memejamkan mata dalam upaya mencari sedikit kedamaian di dalam kesendirian yang menyiksanya. Ia mulai merasakan ada yang membuat matanya terasa berat, dan ia memutuskan untuk tidur.

Hal mengejutkan datang padanya..

Tiba-tiba, dalam kegelapan yang menyelimuti gudang, terdengar suara gemeretak di luar pintu. Azka, yang sedang terlelap dalam kelelahan dan keputusasaan, tersentak kaget. Dia menegakkan tubuhnya, merasa waspada terhadap kehadiran yang tak terduga di luar.

Dengan perlahan, pintu gudang terbuka dan cahaya redup mulai memenuhi ruangan gelap. Azka menatap dengan heran saat seseorang memasuki gudang dengan langkah hati-hati. Saat sosok itu mendekatinya, Azka dapat melihat bahwa itu adalah Satya, temannya yang telah menghilang di taman tadi siang.

Ketika Azka memandang Satya dengan tatapan bingung, Satya tersenyum hangat. "Aku datang untukmu, Azka," katanya dengan lembut. "Aku di sini untuk membantumu keluar dari sini." Dengan penjelasan singkat itu, Azka merasa terkejut dan bersyukur, merasakan sedikit sinar harapan di tengah-tengah kegelapan yang mengepungnya.

Namun, sepertinya itu hanya mimpi semata..

Dengan perasaan campur aduk dari kejutan dan kecemasan, Azka menyadari bahwa yang datang bukanlah Satya, melainkan ayahnya sendiri. Ketegangan langsung terasa di udara saat sang ayah memasuki gudang dengan botol kaca sisa mirasnya di tangan.

Azka menatap ayahnya dengan perasaan campur aduk, mencoba menyembunyikan rasa takut yang menggelayutinya. Di dalam hatinya, ia merasa gelisah menghadapi kemarahan dan kekerasan yang mungkin akan terjadi. Dengan suara yang berat, ayahnya berbicara dengan nada marah. "Kau membuatku marah, Azka," ucapnya, tatapan tajam yang penuh dengan kekecewaan. "Apa yang harus kuperbuat denganmu?"

Azka merasa gemetar, menyadari bahwa ia mungkin menghadapi hukuman yang lebih berat dari ayahnya. Dalam keputusasaannya, ia mencoba mencari titik terang di tengah-tengah kegelapan yang kini semakin dalam.

Dengan keberanian yang tumbuh dari putus asa dan keinginan untuk bebas, Azka mengumpulkan seluruh tenaganya untuk melawan ayahnya. Dalam waktu yang singkat, Azka berhasil melarikan diri dari sang ayah dan bergegas ke arah kamarnya.

Dengan gerakan cepat, Azka mengemasi barang-barangnya dengan gemetar, merasa ketakutan dan panik akan kemarahan ayahnya yang bisa datang kapan saja. Setelah memastikan bahwa ia membawa segala yang dibutuhkannya, Azka melompat ke jendela kamarnya dan kabur ke kegelapan malam.

Dengan napas terengah-engah dan hati yang berdebar kencang, Azka berlari menjauh dari rumahnya, menjauh dari kehidupan yang penuh dengan penderitaan dan kekerasan. Dalam kegelapan malam yang gelap, ia mencari tempat perlindungan, berharap bahwa suatu hari nanti ia bisa menemukan kedamaian yang telah lama ia cari.


Dengan nafas terengah-engah dan hati yang berdebar kencang, Azka terus berlari sekuat tenaga menjauh dari wilayah rumahnya yang penuh dengan ketakutan dan penderitaan. Setiap langkahnya membawa dia semakin jauh dari kegelapan yang pernah mengurungnya.

Akhirnya, Azka tiba di tempat jembatan yang familiar, tempat di mana ia pertama kali bertemu dengan Satya. Di sana, di tengah kegelapan malam, ia melihat sosok duduk di tepi jembatan.

Saat Azka mendekat, ia menyadari bahwa itu adalah Satya. Dalam kegembiraan dan kelegaan, Azka hampir tidak percaya bahwa mereka bertemu lagi di tempat yang sama seperti sebelumnya. Dengan hati yang berdebar kencang, Azka berjalan mendekati Satya, merasakan harapan dan ketenangan yang mulai menyelimuti hatinya.


Azka merasakan keanehan saat kakinya berjalan cepat menuju Satya, namun ia merasa seolah-olah hanya berjalan di tempat. Sensasi aneh itu semakin membingungkan Azka, membuatnya merasa seperti terperangkap dalam ruang gelap yang tak berujung. Tiba-tiba, Azka merasakan beban yang berat menimpa kepalanya, membuatnya merasa pusing dan kehilangan kesadaran. Dunia di sekelilingnya menjadi semakin kabur dan gelap, hingga akhirnya ia pingsan.

Azka membuka matanya lalu ia melihat Satya sedang menawarkan telapak tangan untuk menolongnya. Hal itu membuatnya kebingungan setengah mati, apakah ia kembali kemasa lalu atau apa? 

Azka memandang Satya dengan kebingungan yang mendalam, tidak yakin apa yang sedang terjadi. Telapak tangan Satya terulur di depannya, menawarkan bantuan untuk membantunya bangkit dari pingsannya. Sensasi bingung dan keanehan masih memenuhi pikirannya, membuatnya ragu untuk menerima tawaran Satya.

Namun, terdapat kehangatan dan kebaikan dalam mata Satya yang memancar, seakan menawarkan jaminan bahwa segala sesuatunya akan baik-baik saja. Dengan hati yang dipenuhi oleh kombinasi antara ketakutan dan harapan, Azka akhirnya mengulurkan tangannya dan menerima bantuan dari Satya.

Setelah duduk tegak, Azka memperhatikan sekelilingnya. Semuanya tampak familiar seperti sebelumnya, tetapi ada kehadiran Satya di sampingnya yang membuatnya bingung. Apakah ini merupakan waktu yang sama dengan pertemuan pertama mereka atau ada sesuatu yang berbeda?

Dengan perasaan yang campur aduk, Azka memutuskan untuk mengajukan pertanyaan kepada Satya, mencari kejelasan dan pemahaman atas kejadian yang baru saja dialaminya.

Dengan gemetar, Azka mengeluarkan kertas dan pulpen dari dalam tasnya. Dengan hati yang berdebar-debar, ia mulai menulis pertanyaan yang berputar di benaknya, mencoba merangkai kata-kata yang sesuai dengan kebingungannya. Setelah selesai, ia menyerahkan kertas itu kepada pemuda di hadapannya, yang menurutnya adalah Satya.

Satya, dengan ekspresi bingung, menerima kertas yang diberikan oleh Azka. Matanya melintasinya dengan cepat, membaca setiap kata dengan seksama. Namun, kebingungan semakin menyelimuti wajahnya saat ia menemukan pertanyaan yang tertera di kertas itu.

"Saya bingung," ucap Satya. "Bagaimana Anda bisa tahu namaku?"

Azka memandang Satya dengan tatapan heran. Pertanyaan Satya membuka lembaran baru misteri di antara mereka berdua. Dalam kebingungannya, Azka berusaha mencari jawaban, tetapi kebenaran masih belum terungkap.


-qfs

0 comments:

Post a Comment