Baby - Justin Bieber (Chaewon Le Sserafim and Sunwoo The Boyz)

Kim Chaewon as Theodora Khandra Camellia

Love On The Competition

Christopher Bahng As Alvino Tian Rivendra - gitaaa

Monday, 25 March 2024

Tiket Kereta Api Lebaran

Kereta Api: Kenyamanan Dan Keamanan Menyambut Lebaran Mudik
Setiap tahun momentum Lebaran selalu menjadi hal yang dinanti-nanti masyarakat Indonesia. Waktu berkumpul bersama keluarga erat sekaligus berkumpul dengan kerabat tak terlupakan direncanakan oleh sebagian besar orang.

 Mudik menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditinggalkan atau didekat kan bagi masyarakat untuk melengkapi kebahagiaan di saat Lebaran Idul Fitri. Baik mudik itu bernuansa suka ataupun duka bagi sebagian orang. Mudik untuk sebagian orang merupakan momen yang menyenangkan dan sangat tidak sabar untuk menanti kehadiran hari lebaran, tetapi tidak demikian juga bagi yang lainnya, terasa sangat menyebalkan karena semua orang harus saling bersatu, tetapi sebaliknya justru melewati proses yang sangat sulit atau tidak nyaman yang dialaminya. Ini diakibatkan oleh kepadatan lalu lintas dalam perjalanannya. Untuk menanggulanginya, dinas transportasi dalam kendaraan darat khususnya bekerja sama dengan pihak PT . KAI menghadirkan kereta api sebagai pilihan moda utama di dalam lalu lintas mudik .Mulai dari penambahan jumlah rangkaian kereta, peningkatan frekuensi keberangkatan, hingga penerapan protokol kesehatan yang ketat demi menjaga keamanan dan kesehatan seluruh penumpang.
Namun demikian, dalam menggunakan kereta api sebagai moda transportasi mudik, tetaplah penting untuk melakukan persiapan yang matang. Memperhatikan jadwal keberangkatan, memesan tiket dengan sebelumnya, dan membawa perlengkapan yang cukup menjadi langkah-langkah penting untuk memastikan perjalanan mudik kita berjalan lancar dan nyaman.
Mudik dengan kereta api bukan hanya sekadar perjalanan, namun juga menjadi bagian dari pengalaman yang tak terlupakan. Dengan kenyamanan, keamanan, dan fasilitas yang disediakan, kereta api menjadi pilihan yang tepat untuk menyambut Lebaran bersama keluarga tercinta.

Selamat mudik, semoga perjalanan kita selalu lancar dan aman.

Perjuangan Belum Berakhir!

                                         STS DAN SAS 

Seluruh siswa - siswi SMPK Santa Maria II Malang melakukan STS ( Sumatif Tengah Semester ) untuk kelas 7 & 8 dan SAS ( Sumatif Akhir Semester ) untuk kelas 9. Kegiatan ini wajib diikuti oleh seluruh siswa dan siswi SMPK Santa Maria II Malang. 

STS adalah bentuk evaluasi yang dilakukan di pertengahan jalan pembelajarn, biasanya setelah satu atau dua blok pembelajaran telah diselesaikan. STS memiliki beberapa tujuan utama :
1.) Mengukur Pemahaman Siswa : STS membantu guru dalam mengevaluasi sejauh mana siswa telah memahami materi yang telah diajarkan sejauh ini.

2.) Memberikan Umpan Balik Tengah Jalan : Hasil STS memberikan umpan balik kepada siswa tentang kemajuan mereka dalam belajar.

3.) Menentukan Kebutuhan Tambahan : Hasil STS membantu guru dalam mengidentifikasi siswa yang membutuhkan bantuan dalam materi tertentu.

SAS dilakukan setelah seluruh materi pembelajaran dalam satu semester yang telah diajarkan dan dipahami. Beberapa tujuan SAS antara lain : 
1.) Mengevaluasi Pencapaian Keseluruhan : SAS mengukur pemahaman dan  pencapaian  keseluruhan siswa terhadap materi yang telah diajarkan selama satu semester.

2.) Menentukan Kenaikan Kelas : Hasil SAS sering digunakan sebagai faktor penentu apakah seorang siswa layak untuk naik kelas atau tidak.

3.) Evaluasi Kurikulum : Hasil SAS juga memberikan informasi kepada guru dan lembaga pendidikan tentang efektivitas kurikulum yang telah diterapkan, serta are mana yang perlu diperbaiki.



sumber: chatgpt
-gret

KETUPAT

 KETUPAT

 

  Ketupat merupakan makanan tradisional yang berbahan dasar beras yang dimasak dengan cara direbus didalam anyaman Janur. Ketupat menjadi hidangan istimewa yang melekat saat disajikan diHari Raya IdulFitri khususnya di Indonesia

 Berdasarkan informasi yang dilansir dari berbagai sumber, tradisi ketupat ini berawal dari penyebaran agama Islam di pulau Jawa oleh Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga sendiri merupakan salah satu tokoh Wali Songo yang berperan dalam penyebaran agama Islam di Pulau Jawa.

 Sunan Kalijaga menjadikan Ketupat sebagai budaya dan filosofi Jawa yang berbaur dengan nilai keislaman. Dimana membaurkan pengaruh budaya Hindu pada nilai keislaman, sehingga ada akulturasi budaya antara keduanya. Akulturasi adalah percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan memengaruhi.

 Sunan Kalijaga memperkenalkan Bakda Lebaran dan Bakda Kupat. Sebagai informasi, Bakda Kupat merupakan budaya yang dimulai satu minggu setelah lebaran. Pada hari itu, banyak masyarakat yang menganyam dan mempersiapkan hidangan Ketupat.

 Biasanya Ketupat diantarkan kepada kerabat yang lebih tua sebagai simbol kebersamaan.

 Sunan Kalijaga membagikan Ketupat sebagai sarana untuk berdakwah menyebarkan agama Islam. Ini menjadi pendekatan budaya oleh Sunan Kalijaga untuk mengajak orang Jawa untuk memeluk agama Islam pada kala itu.

 Secara perlahan, tradisi Ketupat ini menjadi melekat di Indonesia sebagai hidangan Lebaran.

 Ketupat berasal dari kata “Kupat” dan memiliki arti ganda yakni ngaku lepat (mengakui kesalahan) dan laku papat (empat tindakan). Empat tindakan yang dimaksudkan antara lain: luberan (melimpahi), leburan (melebur dosa), lebaran (pintu ampunan terbuka lebar) dan laburan (menyucikan diri).

 Selanjutnya, isian beras pada Ketupat dilambangkan sebagai hawa nafsu. Daun kelapa muda atau Janur merupakan singkatan dari jatining nur atau cahaya sejati (hati nurani). Jika digabungkan, Ketupat memiliki arti manusia yang menahan nafsu dengan mengikuti hati nurani. (rey/pt)

Perahu Kertas

 


✦ Tahun 2006

Heeseung dan Yeon Ji adalah dua anak yang tinggal di sebuah kota kecil yang tersembunyi di pojok kota besar. Heeseung, dengan sifatnya yang diam namun seru dan ramah, berbeda dengan Yeon Ji yang penuh energi dan tidak bisa diam, selalu mencari kesenangan di sekitarnya.

Suatu hari, mereka memutuskan untuk bermain di pesisir pantai yang dekat dengan rumah nenek Yeon Ji. Duduk di tepi pantai, mereka memandang keindahan alam yang diciptakan oleh Tuhan dengan penuh kagum. Tiba-tiba, dalam momen yang tenang itu, Yeon Ji memutuskan untuk meminta sebuah janji kepada Heeseung.

"Dengarkan, Heeseung," ucap Yeon Ji dengan antusias, matanya berbinar-binar. "Kita harus berjanji satu sama lain. Janji bahwa kita akan tetap menjadi sahabat, tidak peduli seberapa jauh waktu dan jarak memisahkan kita. Kita akan selalu saling mendukung, seperti yang kita lakukan hari ini di tepi pantai ini."

Heeseung tersenyum, menatap Yeon Ji dengan penuh kehangatan. "Tentu saja, Yeon Ji. Kita akan menjadi sahabat selamanya. Janji itu akan kupegang erat, seperti janji kita hari ini di bawah langit yang luas dan lautan yang tak terbatas ini."

Dengan senyum lega, mereka menyatukan kelingking satu sama lain dengan tawa.Beberapa saat kemudian, setelah berjanji satu sama lain, Heeseung mendapatkan ide untuk membuat perahu yang terbuat dari kertas.

Yeon ji yang melihat Heeseung tiba tiba datang kembali dari rumah neneknya dengan membawa kertas dan pensil. ''Heeseung, apa yang akan kau buat?'' seru Yeon ji antusias, ''Agar lautan paham dengan janji kita, mari kita membuat perahu kertas'' jawab Heeseung.

Akhirnya mereka telah membuat dan menyelesaikan perahu kertas tersebut, dan tak lupa di pertengahan membuat perahu kertas itu, mereka menuliskan pesan dan permohonan pada kertas tersebut menggunakan pensil.

''Yeon ji, mari kita lepas perahu kertas ini ke laut'' ajak Heeseung dan mendapatkan anggukkan antusias Yeon ji.

Mereka mendekatkan diri ke arah dekat ombak laut. Mereka mencari tempat nyaman untuk melepaskan perahu kertas buatan mereka itu. Beberapa menit mereka mencari akhirnya menemukannya. Mereka mulai melepaskan perahu kertas itu ke lautan luas berwarna biru itu.

Heeseung memandang perahu buatannya tersebut dengan wajah yang berseri. ''Apa yang kau tulis disana?'' tanya Yeon ji penasaran, ''Rahasia, mungkin kita dapat mengetahuinya saat kita sudah lebih dewasa?'' disela sela ucapan Heeseung ia juga melengkapinya dengan tawa indahnya.

✦ Tahun 2007 ✿

Satu tahun telah berlalu sejak hari mereka membuat janji di tepi pantai. Heeseung dan Yeon Ji masih menjadi sahabat yang tak terpisahkan di kota kecil mereka. Pagi itu, Heeseung dengan senyum ramahnya mengajak Yeon Ji untuk pergi ke pusat kota kecil tersebut untuk membeli bunga.

Yeon Ji, dengan semangatnya yang khas, dengan cepat menyetujui ajakan Heeseung. "Tentu saja, Heeseung! Aku sangat senang bisa pergi bersamamu," serunya dengan sukacita.

Bersama-sama, mereka berjalan melalui jalan-jalan kota kecil yang dikenal mereka dengan baik. Heeseung menatap Yeon Ji dengan penuh kehangatan, senyumnya tidak pernah lekang meski waktu telah berlalu. Mereka tiba di sebuah toko bunga di pusat kota, di mana mereka berdua berhenti sejenak untuk memilih bunga yang indah.

beberapa saat kemudian. Heeseung tersenyum lebar saat ia menemukan bunga kesukaannya, sebuah gerbera yang cantik dan mempesona di antara deretan bunga-bunga lainnya. Dengan bersemangat, ia memanggil Yeon Ji yang sedang melihat-lihat bunga lain di sekitar toko.

"Yeon Ji, lihat ini!" seru Heeseung dengan antusias, sambil mengangkat bunga gerbera yang ditemukannya. "Aku yakin ini akan cocok dengan keceriaanmu.

Yeon Ji berbalik dengan cepat, wajahnya berseri-seri melihat bunga yang ditunjukkan Heeseung. "Wow, itu sangat cantik!" serunya dengan senyum yang tak kalah cerah dari bunga itu sendiri.

Heeseung menawarkan bunga gerbera itu pada Yeon Ji dengan penuh semangat. "Ayo, bagaimana kalau kita membelinya? Bunga ini benar-benar seperti kamu, cerah dan menyenangkan!"

✦ Tahun 2010 ✿

Tiga tahun telah berlalu sejak saat Heeseung dan Yeon Ji membeli bunga gerbera bersama di toko bunga di kota kecil mereka. Kini, sebuah perubahan besar sedang menanti Heeseung. Dia mendapat tawaran untuk melanjutkan sekolah di kota besar, tepat di pusatnya, sebuah kesempatan yang luar biasa untuk mengembangkan potensinya.

Ketika Heeseung memberitahu Yeon Ji tentang kesempatan ini, senyum kebahagiaan terpancar di wajah Yeon Ji. Meskipun di dalam hatinya sedikit sedih akan perpisahan yang akan terjadi, namun kebahagiaan untuk sahabatnya jauh lebih besar. Dia tahu betapa besar impian Heeseung untuk melanjutkan pendidikan di kota besar yang selalu diceritakan dan diimpikan oleh Heeseung.

Dengan tulus, Yeon Ji mendukung keputusan Heeseung. "Aku sangat senang untukmu, Heeseung! Ini adalah kesempatan yang luar biasa, dan aku tahu kamu akan mengambilnya dengan baik," ucap Yeon Ji dengan penuh keyakinan.

Heeseung tersenyum bersyukur atas dukungan Yeon Ji. "Terima kasih, Yeon Ji. Aku akan merindukanmu dan semua kenangan indah di kota kecil ini."

✦ Tahun 2020 ✿

Setelah sepuluh tahun menjalani perjalanan pendidikannya yang penuh perjuangan, Heeseung akhirnya mendapat libur panjang dari kampusnya. Namun, liburan itu tidak berarti istirahat bagi Heeseung. Ia memiliki tugas besar yang menunggu, yaitu menyelesaikan skripsi dan mempersiapkan diri untuk kelulusannya.

Dengan beban yang berat namun penuh tekad, Heeseung kembali ke kota kecilnya dengan membawa tumpukan skripsi yang harus diselesaikan. Saat ia membuka pintu rumah yang selalu memberinya kenangan manis, aroma harum kenangan masa kecilnya menyambutnya. Ia dengan cepat meletakkan koper dan ranselnya, mempersiapkan diri untuk tugas-tugas yang menantinya.

Namun, sebelum memulai tugasnya, Heeseung merasa ada yang harus ia lakukan. Dengan langkah yang mantap, ia berjalan ke toko bunga yang pernah menjadi saksi dari momen-momen bahagia bersama sahabatnya, Yeon Ji, tiga belas tahun yang lalu.

Saat ia memasuki toko bunga itu, aroma bunga yang khas menguar di udara, membangkitkan kenangan yang terpendam. Heeseung melihat sekeliling toko dengan hati yang berdebar-debar, mencari bunga yang akan menjadi teman setianya dalam perjalanan selama sepuluh tahun ini.

Akhirnya, pandangannya terpaku pada sebuah gerbera yang cantik, sama seperti yang pernah ia beli bersama Yeon Ji dulu. Dengan senyum kecil di bibirnya, Heeseung mengambil bunga itu dan membayarnya dengan penuh rasa haru.

✦ ~ ✿

Dengan hati yang berat dan penuh harapan, Heeseung segera menuju pantai, tempat di mana ia dan Yeon Ji sering melepas perahu kertas ke dalam samudera mimpi mereka. Saat ia tiba di tepi pantai, angin laut membelai wajahnya, dan suara deburan ombak mengisi keheningan.

Duduk di pasir pantai yang lembut, Heeseung menatap lautan yang luas, menunggu dengan harap-harap cemas kehadiran Yeon Ji. Namun, naas, tidak satupun bayangan Yeon Ji yang muncul di cakrawala.

Rasa rindu dan kekosongan mulai merayap dalam diri Heeseung. Meskipun ia sendiri, ia merasakan kehadiran Yeon Ji dalam setiap serpihan kenangan yang terukir di pantai ini. Kenangan tentang persahabatan mereka yang kuat, tawa mereka yang riang, dan mimpi-mimpi mereka yang selalu terbang tinggi di atas samudera kehidupan.

Namun, meskipun kehadiran fisik Yeon Ji tak terlihat, Heeseung merasakan bahwa sahabatnya tetap ada di sana, dalam hati dan pikirannya. Dengan setiap hembusan angin laut yang menggenggam rambutnya dan setiap deburan ombak yang menyentuh kakinya, ia merasakan kehadiran Yeon Ji, memberinya kekuatan untuk terus maju dalam hidupnya.

Dengan hati yang penuh haru dan terima kasih, Heeseung mendekatkan diri lebih dekat ke tepi lautan yang luas, merasakan sentuhan lembut air laut yang membasahi celana panjangnya. Dengan langkah yang mantap, ia mengayunkan bunga gerbera yang ia beli sebagai simbol persahabatan mereka ke dalam lautan bebas.

Dengan perlahan, bunga itu mulai terbawa oleh arus, menjauh dari pantai dan menghilang di kejauhan. Heeseung memandangnya dengan tatapan penuh makna, merenung tentang semua kenangan indah yang mereka bagi bersama.

Di dalam hatinya, ia tahu bahwa meskipun bunga itu telah pergi, namun persahabatan mereka akan tetap abadi, seperti lautan yang tak pernah berhenti mengalir. Meskipun jarak memisahkan mereka, namun ikatan batin yang mereka miliki akan selalu terjaga, seperti arus yang tak terputus di dalam lautan.

Dengan senyum yang hangat di bibirnya, Heeseung berbalik dan kembali ke daratan, membawa dalam dirinya kekuatan dan harapan untuk masa depan yang cerah. Meskipun ia telah melepaskan bunga ke lautan, namun kenangan dan hubungan persahabatan mereka akan tetap hidup dalam hati dan pikirannya, selamanya.

✦ ~ ✿

Dengan hati yang berdebar-debar, Heeseung mengetuk pintu rumah nenek Yeon Ji keesokan harinya. Saat pintu terbuka, senyum hangat sang nenek menyambut kedatangannya. Heeseung tidak bisa menahan diri dan dengan cepat memeluk nenek Yeon Ji dengan erat.

Setelah memeluk sang nenek, Heeseung dipersilakan masuk ke dalam rumah. Saat ia duduk di sofa yang familiar baginya, ia merasa sepenuhnya terkenang dengan masa lalu. Meskipun ada kesedihan yang menyelimuti hatinya, namun juga ada kehangatan yang ia rasakan di tempat ini, tempat yang telah menjadi saksi bisu dari begitu banyak kenangan manis bersama Yeon Ji.

Mata Heeseung tertuju pada tempat berdoa yang terhampar di salah satu dinding, di mana terpampang gambar sang sahabat, Yeon Ji. Dengan langkah lembut, ia mendekati gambar itu, menatap wajah tulus Yeon Ji yang terpampang di dalamnya.

Saat ia menatap gambar itu, sebuah senyum tak terelakkan terukir di bibirnya. Meskipun Yeon Ji mungkin tidak berada di sini secara fisik, namun kehadiran dan kenangan akan persahabatan mereka tetap hidup dalam hati Heeseung. Dan di tempat ini, di dekat gambar sahabatnya itu, ia merasakan kehangatan dan kehadiran Yeon Ji, memberinya kekuatan untuk melanjutkan hidupnya dengan penuh semangat dan harapan.

Dalam doanya, ia mendoakan yang terbaik untuk sahabatnya, dan berjanji untuk selalu mengingat dan menghargai semua kenangan yang telah mereka bagi bersama. Sebagai tanda penghormatan dan cinta pada persahabatan mereka, ia tersenyum, membiarkan air mata kebahagiaan dan nostalgia membasahi pipinya.

Saat Heeseung duduk di dekat tempat berdoa, nenek Yeon Ji menyaksikannya dengan tatapan penuh kehangatan. Diam-diam, ia mendekati Heeseung dengan langkah yang lembut, membawa harapan dan semangat untuk menghiburnya dalam momen-momen yang sulit.

Dengan suara lembut dan penuh kebaikan, nenek Yeon Ji menyapanya, "Heeseung, aku tahu bahwa kamu sedang melewati masa-masa yang sulit. Namun, ingatlah bahwa setiap cobaan yang kita hadapi adalah bagian dari perjalanan hidup kita. Kita harus tetap tegar dan percaya bahwa di balik setiap tantangan, ada kekuatan dan pembelajaran yang berharga."

Heeseung menoleh ke arah nenek Yeon Ji dengan mata yang penuh dengan rasa terharu. Ia merasakan kehangatan dan kebijaksanaan dari kata-kata nenek itu, seolah-olah mereka adalah obat bagi hatinya yang sedang terluka.

"Terima kasih, nenek," ucap Heeseung dengan suara yang penuh dengan rasa terima kasih. "Kata-kata dan dukunganmu sungguh berarti bagiku. Aku akan tetap tegar dan berusaha sebaik mungkin."

Nenek Yeon Ji tersenyum penuh kebanggaan dan kebahagiaan. "Kamu adalah anak yang kuat, Heeseung. Aku yakin bahwa kamu akan melewati semua ini dengan keberanian dan kemantapan hati. Dan ingatlah, selalu ada cahaya di ujung terowongan, jadi jangan pernah menyerah."

✦ ~ ✿

Saat pulang dari kediaman nenek Yeon ji. Dengan langkah yang terengah engah, Heeseung segera membuka pintu rumahnya dan masuk kedalam kamarnya. Ia segera mengambil kotak yang dahulu diberikan oleh Yeon ji, sebelum membuka kotak itu, sang nenek memberitahukan Heeseung untuk membaca surat itu terlebih dahulu baru membuka kotak itu.

Dengan hati yang penuh haru, Heeseung membaca surat itu berulang kali, meresapi setiap kata dan maknanya. Ia tahu bahwa ini adalah permintaan terakhir dari sahabatnya, dan ia bersumpah untuk memenuhinya dengan sepenuh hati.

Heeseung membuka kotak dengan hati yang penuh haru, merasakan getaran emosional saat ia melihat isinya. Di dalamnya, terdapat beberapa foto mereka bersama, merekam momen-momen bahagia dan kenangan indah yang mereka bagi bersama.

Di antara foto-foto itu, terdapat juga kelopak bunga favorit Heeseung, yang menambah kehangatan dan keindahan di dalam kotak itu. Kelopak bunga itu, dengan keharumannya, mengingatkannya pada kebahagiaan dan keceriaan yang mereka rasakan bersama di masa lalu.

Namun, yang paling membuat hati Heeseung tersentuh adalah secarik kertas kecil yang bertuliskan kata-kata "semangat!" di atasnya. Kata sederhana itu, meskipun singkat, memiliki makna yang sangat dalam baginya. Itu adalah pesan dukungan dari sahabatnya, Yeon Ji, yang memberinya semangat untuk terus maju dalam setiap langkah hidupnya.

Dengan hati yang dipenuhi dengan rasa terima kasih dan haru, Heeseung menyimpan semua isinya kembali ke dalam kotak, memeluknya erat di dadanya. Kotak itu bukan hanya berisi barang-barang fisik, tetapi juga memuat kenangan, harapan, dan semangat yang tak terhapuskan dari persahabatan mereka.

END

-qfs

Mudik Lebaran Tahun 2024

 


Mudik Lebaran Tahun 2024

Lebaran adalah salah satu momen yang sangat dinantikan oleh masyarakat Indonesia. Tradisi mudik atau pulang kampung menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan ini. Namun, saat ini fenomena macet di jalur mudik saat Lebaran semakin meningkat. Dalam artikel ini, kami akan membahas tentang mudik Lebaran tahun 2024, mengidentifikasi penyebab kemacetan saat ini, serta memberikan solusi alternatif untuk mengurangi kemacetan yang terjadi.

Penyebab Kemacetan Saat Mudik Lebaran saat ini dikarenakan oleh pertumbuhan kendaraan pribadi,
salah satu penyebab utama kemacetan saat mudik Lebaran adalah pertumbuhan kendaraan pribadi yang signifikan. Semakin banyak orang yang memiliki kendaraan pribadi, terutama mobil, sehingga jumlah kendaraan yang bergerak pada saat bersamaan menjadi sangat tinggi.

Penyebab Kemacetan saat mudik lainnya yaitu infrastruktur jalan yang terbatas, dikarenakan infrastruktur jalan yang terbatas menjadi faktor lain yang menyebabkan kemacetan saat mudik Lebaran. Beberapa ruas jalan utama masih belum memadai untuk menampung volume kendaraan yang tinggi saat Lebaran. Terlebih lagi, masih ada sejumlah proyek infrastruktur yang belum selesai, yang menyebabkan kemacetan semakin parah.

Kemacetan ini juga dikarenakan kurangnya pengaturan lalu lintas yang efektif, pengaturan lalu lintas yang kurang efektif juga merupakan penyebab kemacetan saat mudik Lebaran. Ketidakmampuan petugas lalu lintas dalam mengelola arus kendaraan dengan baik menyebabkan kemacetan semakin parah. Diperlukan koordinasi yang baik antara petugas lalu lintas dan pihak terkait untuk mengatasi masalah ini.

Solusi Alternatif untuk Mengurangi Kemacetan Mudik di masa Lebaran adalah Pengembangan Transportasi Massal.
Salah satu solusi alternatif yang dapat diterapkan adalah pengembangan transportasi massal. Peningkatan jumlah kereta api, bus, dan kapal laut untuk mengangkut penumpang saat mudik dapat mengurangi jumlah kendaraan pribadi di jalan raya. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan frekuensi perjalanan dan menyediakan tarif yang terjangkau.

Untuk solusi yang lainya adalah peningkatan infrastruktur jalan, pemerintah juga perlu meningkatkan infrastruktur jalan yang ada. Pembangunan jalan baru, perbaikan jalan yang rusak, dan penambahan jalur jalan dapat membantu mengurangi kemacetan saat mudik Lebaran. Selain itu, diperlukan juga peningkatan sistem pengaturan lalu lintas yang canggih untuk mengoptimalkan penggunaan ruas jalan yang ada.

Solusi yang terakhir yaitu edukasi dan kesadaran masyarakat, peningkatan edukasi dan kesadaran masyarakat juga penting dalam mengurangi kemacetan saat mudik Lebaran. Masyarakat perlu diberikan pemahaman tentang pentingnya menggunakan transportasi massal, mengatur jadwal keberangkatan dengan bijak, serta memahami pentingnya etika berlalu lintas. Dengan kesadaran yang tinggi, masyarakat dapat berkontribusi dalam mengurangi kemacetan yang terjadi.

Mudik Lebaran tahun 2024 masih akan diwarnai dengan kemacetan yang tinggi. Pertumbuhan kendaraan pribadi, infrastruktur jalan yang terbatas, dan kurangnya pengaturan lalu lintas yang efektif.

The Other Side


''Jungwon,'' seru seseorang yang bername tag Jay. ''Ya?'' seseorang yang baru saja disebut Jungwon itu menoleh, Jay mendekati Jungwon dan ia langsung duduk disamping Jungwon dan berseru, ''Kamu tau tidak? kasus yang baru saja booming disekolah?'' seru Jay. Jungwon nampak tak terlalu mempedulikannya dan ia tetap sibuk dengan lukisan yang ia gambar di kanvas putih itu.

Jay merasa sedikit frustrasi melihat ketidakpedulian Jungwon terhadap topik yang dia anggap penting. Namun, dia memutuskan untuk terus mencoba. "Kasus itu sangat aneh, Jungwon. Beberapa murid menghilang tanpa jejak. Polisi sedang menyelidiki, tetapi sepertinya tidak ada petunjuk yang jelas," Jay menjelaskan, mencoba menarik perhatian temannya.

Jungwon mengangkat sedikit alisnya, menunjukkan sedikit minat pada pembicaraan Jay. "Apa yang kamu pikirkan tentang ini?" tanya Jay, mencoba memicu diskusi. "Sepertinya hanya drama biasa," Jungwon menjawab sambil tetap fokus pada lukisannya. "Mungkin ada alasan di balik semua ini, atau mungkin tidak. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

Jay merasa kebingungan. Bagaimana Jungwon bisa begitu santai menghadapi situasi yang begitu serius? "Tapi, Jungwon, ini bukanlah hal yang bisa diabaikan begitu saja. Apa yang jika kita atau orang lain berada dalam bahaya?" Jay mencoba menjelaskan kekhawatirannya.

Jungwon akhirnya menatap Jay dengan tatapan tajam yang tidak biasa. "Apakah kamu benar-benar percaya pada segala hal yang kamu dengar, Jay?" tanyanya dengan suara yang tenang namun tajam. Jay terdiam sejenak, merenungkan pertanyaan itu. "Apa maksudmu?" tanyanya akhirnya.

Jungwon tersenyum tipis. "Mungkin, bukankah lebih baik untuk tidak selalu mempercayai apa yang terlihat di permukaan? Terkadang, kebenaran sebenarnya tersembunyi di balik tirai yang paling gelap."

Kata-kata Jungwon membuat Jay merasa tersentak. Apa yang dimaksud Jungwon? Apakah dia menyiratkan sesuatu yang lebih dalam tentang kasus itu? Jay merasa semakin penasaran dengan sahabatnya yang misterius itu. Namun, sebelum Jay bisa menanyakan lebih lanjut, bel masuk sekolah berbunyi, menandakan akhir dari jeda mereka. Jay meninggalkan Jungwon dengan pertanyaan yang menggelitik pikirannya, bertekad untuk mengungkap lebih banyak rahasia di balik misteri yang sedang terjadi di sekolah mereka.

૮⍝• ᴥ •⍝ა

Jungwon memasuki kelas dengan napas terengah-engah, wajahnya agak pucat. Dia menyusuri lorong-lorong sekolah dengan terburu-buru, membawa barang-barang yang terkait dengan kanvas dan lukisannya. "Maafkan aku, Pak," Jungwon menjawab, mencoba menenangkan dirinya saat dia berdiri di depan kelas. "Ada beberapa masalah di studio seni yang harus saya selesaikan."

Jungwon memasuki kelas dengan napas terengah-engah, wajahnya agak pucat. Dia menyusuri lorong-lorong sekolah dengan terburu-buru, membawa barang-barang yang terkait dengan kanvas dan lukisannya. "Maafkan aku, Pak," Jungwon menjawab, mencoba menenangkan dirinya saat dia berdiri di depan kelas. "Ada beberapa masalah di studio seni yang harus saya selesaikan."

Guru mengangguk, namun ekspresinya masih keras. "Ini bukanlah alasan yang baik untuk terlambat, Jungwon. Anda harus memprioritaskan pendidikan Anda. Segera duduk." Jungwon mengangguk, menempatkan barang-barangnya di meja dengan cermat sebelum duduk di kursi kosong di sudut kelas. Dia merasakan sorotan tatapan dari teman-temannya, tetapi dia mencoba untuk tidak terlalu memperhatikannya.

Saat bel pelajaran dimulai, Jungwon mencoba fokus pada pelajaran. Namun, pikirannya terus melayang ke studio seni tempat dia baru saja meninggalkan kanvasnya. Ada sesuatu yang salah dengan lukisannya, dan dia harus memperbaikinya sebelum waktu yang ditentukan. Setelah kelas selesai, Jungwon segera meninggalkan ruangan, menuju studio seni. Dia merasa semakin gelisah saat dia mendekati tempat itu, mencoba mempercepat langkahnya. Begitu tiba, dia segera memeriksa kanvasnya.

Namun, apa yang dia temukan membuatnya terkejut. Lukisannya telah diubah. Di tengah-tengah kanvas, ada gambar yang aneh dan mengerikan yang tidak pernah dia buat. Tubuhnya terasa bergetar, dan dia tahu dia harus melaporkan ini kepada pihak berwenang.
Dengan hati yang berdebar, Jungwon mencabut telepon genggamnya dan menghubungi Jay. "Ada sesuatu yang buruk terjadi," katanya ketika Jay mengangkat panggilannya.

૮⍝• ᴥ •⍝ა

Jungwon dan Jay sepakat untuk bertemu di atap gedung sekolah, tempat yang sepi dan terlindung dari mata orang lain. Dari sana, mereka dapat berbicara tanpa gangguan dan merasa lebih aman untuk membicarakan masalah yang mereka hadapi. Saat mereka sampai di atap, angin berdesir pelan dan langit senja memberikan latar belakang yang dramatis bagi percakapan mereka. Jay melihat ekspresi tegang di wajah Jungwon dan merasa kegelisahan yang sama.

"Ada apa, Jungwon? Apa yang kamu maksud dengan sesuatu yang buruk terjadi?" tanya Jay dengan suara cemas.
Jungwon menggelengkan kepala, mata yang penuh kekhawatiran. "Lukisankudi studio seni telah diubah. Ada gambar yang aneh dan menakutkan di atasnya. Aku tidak pernah membuat itu, Jay. Aku tidak tahu apa yang terjadi."

Jay menatap Jungwon dengan serius, mencoba memahami keadaan yang sedang dihadapi temannya. "Ini sungguh aneh. Kita harus segera memberi tahu pihak berwenang. Mungkin ini terkait dengan kasus hilangnya murid-murid sekolah."

Jungwon mengangguk setuju, tetapi wajahnya terlihat tegang. "Aku takut, Jay. Aku takut akan apa yang mungkin terjadi. Dan aku juga takut pada apa yang mungkin aku temukan."

Jay meletakkan tangannya dengan lembut di bahu Jungwon, mencoba memberinya sedikit kekuatan. "Kamu tidak sendirian, Jungwon. Kita akan menghadapinya bersama. Yang penting sekarang adalah mengungkap kebenaran dan melindungi diri kita sendiri."

Setelah berdiskusi sebentar di atap gedung sekolah, Jungwon dan Jay memutuskan untuk pergi ke ruang guru untuk melaporkan kejadian yang mereka temui di studio seni.

૮⍝• ᴥ •⍝ა

Mereka masuk ke ruang guru dengan hati-hati, menemukan guru yang bersangkutan sedang duduk di meja kerjanya, sibuk dengan tumpukan berkas dan dokumen. Dengan wajah serius, mereka mendekati meja guru itu. "Pak, kami punya sesuatu yang ingin kami laporkan," ujar Jay dengan nada tegas.

Guru mengangkat pandangannya dari kertas-kertas yang tersebar di meja dan menyambut mereka dengan sikap serius. "Ada apa, anak-anak? Apakah ada masalah?" tanya guru tersebut.

Jungwon menjelaskan dengan hati-hati apa yang terjadi di studio seni, bagaimana lukisannya telah diubah tanpa seizinnya, dan bagaimana hal tersebut membuatnya merasa khawatir akan keselamatan dirinya sendiri dan teman-temannya.

Guru mendengarkan dengan penuh perhatian, ekspresinya menjadi semakin serius seiring dengan penjelasan mereka. "Ini sangat serius," ujar guru tersebut setelah mereka selesai berbicara. "Kita harus segera memberi tahu pihak berwenang tentang ini. Tidak boleh ada lagi kejadian seperti ini di sekolah kita."

Setelah memastikan bahwa laporan mereka tercatat dengan baik, Jungwon dan Jay merasa sedikit lega. Mereka tahu bahwa mereka telah mengambil langkah yang tepat dengan melaporkan kejadian tersebut kepada guru. Namun, di balik rasa lega itu, masih ada ketegangan dan ketidakpastian tentang apa yang mungkin terjadi selanjutnya.

૮⍝• ᴥ •⍝ა

Setelah meninggalkan ruang guru, Jungwon dan Jay merasa tegang dan penuh ketidakpastian. Mereka berjalan melalui lorong-lorong sekolah dengan pikiran yang dipenuhi oleh pertanyaan dan kekhawatiran tentang apa yang mungkin terjadi selanjutnya. Namun, di antara semua kekhawatiran itu, mereka merasa lega karena telah melaporkan kejadian tersebut kepada pihak berwenang.

Namun, sebelum mereka dapat merasa terlalu aman, mereka tiba-tiba dihadang oleh seseorang di depan pintu keluar. Seorang siswa lain, yang terlihat gelap dan misterius, menghalangi mereka dengan tatapan tajam.

"Apa yang kalian lakukan?" tanya siswa tersebut dengan suara yang dingin. "Kalian telah mengganggu sesuatu yang seharusnya kalian biarkan terkubur."

Jungwon dan Jay saling pandang, merasa tidak nyaman dengan pertemuan yang tiba-tiba ini. Mereka tidak yakin bagaimana cara menanggapi.

૮⍝• ᴥ •⍝ა

Setelah Jungwon mengantarkan Jay pulang ke rumahnya, dia kembali ke sekolah untuk mengetahui lebih lanjut tentang masalah siswa-siswa yang menghilang. Langit telah mulai gelap, dan suasana sekolah terasa semakin sunyi saat dia melangkah masuk.

Dia menuju ke lorong, tempat yang biasanya menjadi pusat lalu lalang di antara siswa. Namun, ketika dia tiba di sana, perpustakaan terlihat kosong. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, kecuali suara angin yang melolong lewat jendela terbuka.

Jungwon berdiri tegak di tengah lorong sekolah yang sepi, menerangi koridor dengan lampu redup yang menyala di langit-langit. Di tangannya, dia memegang bukti yang baru saja ditemukannya di perpustakaan: sebuah tanda yang aneh terukir di sampul buku.

Tiba-tiba, langkah kaki terdengar di belakangnya. Dia berbalik dan melihat seorang siswa, seseorang yang juga termasuk dalam daftar siswa yang menghilang, menghampirinya dengan langkah-langkah ragu.

"Jungwon," kata siswa itu dengan suara gemetar, "aku tahu kau sedang menyelidiki kasus ini. Aku perlu memberitahumu sesuatu." Jungwon mengangguk, memperhatikan ekspresi cemas di wajah siswa itu. "Apa yang ingin kamu katakan?"

Siswa itu menelan ludah, lalu melanjutkan dengan suara gemetar, "Aku percaya ada seseorang di sekolah ini yang tidak seperti yang terlihat. Seseorang yang bermuka dua."

Jungwon menarik napas dalam-dalam, merenungkan kata-kata siswa itu. "Apa yang kamu maksud dengan 'bermuka dua'?"

Siswa itu menatap Jungwon dengan mata yang penuh kekhawatiran. "Aku tidak tahu siapa dia sebenarnya, tapi aku merasa seperti dia ada di mana-mana. Dia bersembunyi di balik topengnya yang licik. Dan aku takut..."

Sebelum siswa itu bisa melanjutkan, teriakan tiba-tiba terdengar dari ujung koridor. Jungwon dan siswa itu melihat ke arah suara itu, hanya untuk melihat seseorang berlari kearahnya.

"Dia!" seru siswa itu dengan suara lantang, menunjuk ke arah Jungwon. "Itu! Jangan percaya padanya, dia berbahaya"



-qfs

Tag, You're It.

 

Tag, you're it
-gitaaa

Terdapat 5 orang anak SMA yang bernama, Bangchan, Minho, Changbin, Hyunjin, dan Jake. Mereka adalah sahabat lama yang sangat akrab. Mereka berkumpul di halaman belakang sekolah mereka, sibuk memainkan permainan lama favorit mereka, tag. Mereka tertawa dan berlari-larian dengan riang, hingga tiba-tiba, Minho menemukan sebuah kotak kecil di balik semak-semak.

"Kamu kenapa, Minho?" tanya Changbin sambil menghampiri.

Jake membuka kotak itu dan menemukan sebuah surat undangan misterius. "Ini undangan untuk permainan," kata Jake, menunjukkan surat itu kepada teman-temannya.

Mereka semua berkumpul untuk membaca isi surat itu. Isinya meminta mereka untuk berpartisipasi dalam permainan yang tidak biasa. "Kita harus mencari tahu siapa pembunuh di antara kita," ujar Minho, membaca isi surat itu dengan cermat.

"Gimana cara kita tahu siapa yang jadi pembunuhnya?" tanya Hyunjin, bingung.

"Kita harus menyelesaikan puzzle-puzzle di dalam permainan ini," jawab Changbin sambil menunjuk beberapa kotak puzzle yang ada di surat tersebut.

Mereka mulai menjelajahi area yang tertera pada surat itu dan mereka meninggalkan spot belakang sekolah, mencari petunjuk pertama. Setiap puzzle yang mereka selesaikan membawa mereka lebih dekat pada kebenaran, tetapi juga membuat mereka semakin waspada terhadap satu sama lain.

Bangchan, Minho, Changbin, Hyunjin, dan Jake duduk bersama di ruang kelas yang kosong, mengamati puzzle pertama yang terpampang di meja. Mereka saling berbagi ide dan mencoba memecahkan teka-teki tersebut.

Bangchan: "Apa yang kalian pikirkan tentang ini?"

Minho: "Mungkin kita perlu cocokkin pola-pola ini sama diagram di sebelah sana."

Changbin: "Tapi, apa hubungannya sama surat undangan itu? Apa ini hanya permainan atau ada yang lebih?"

Hyunjin: "Ayo, kita fokus sama puzzle ini dulu. Kita bisa membicarakan itu nanti."

Mereka bekerja keras, bergantian mencoba memecahkan teka-teki tersebut. Setelah beberapa saat, mereka berhasil menyelesaikan puzzle pertama dan mendapatkan petunjuk berikutnya.

Jake: "Ini membawa kita ke perpustakaan. Ayo cepat pergi!"

Mereka berlima bergegas ke perpustakaan, di mana mereka menemukan puzzle-puzzle lain yang menantang. Mereka bekerja sama dengan cepat dan hati-hati, menyadari bahwa waktu mereka terus berkurang.

Changbin: "Aku yakin ada yang ngawasin kita. Kita harus bergerak cepat."

Bangchan: "Aku setuju. Kita harus menyelesaikan ini sebelum terlambat."

Saat mereka sedang sibuk memecahkan puzzle terakhir, tiba-tiba lampu di sekitar mereka padam. Suara langkah kaki yang cepat terdengar mendekati mereka. Mereka berlima saling melihat, hati-hati mengintip kegelapan.

"Kita harus sembunyi!" bisik Minho sambil menarik tangan Bangchan. Mereka berlari dan menyelinap ke dalam ruangan gelap yang terbuka di sebelah koridor.

Setelah beberapa saat bersembunyi, tiba-tiba, cahaya lampu kembali menyala. Mereka keluar dari persembunyian mereka dan menemukan Changbin tergeletak di lantai secara mengenaskan. Mereka menegakkan tubuhnya, napasnya terengah-engah setelah sadar apa yang telah mereka lihat.

Setelah kejadian tersebut satu per satu, dari mereka mulai tersingkir. Satu di antara mereka selalu terjebak dalam puzzle yang sulit, hingga tak bisa melanjutkan. Dan satu di antara mereka tergeletak dilantai tak berkutik. Setiap kali seseorang tereliminasi, mereka mendengar suara berbisik di telinga mereka, "Tag, you're it."


 



Bangchan: "Apa ini? Kok ada ruang tersembunyi di sini?"

Minho: "Ini tempat persembunyian pembunuh. Kita harus hati-hati."

Mereka menjelajahi ruangan itu dengan hati-hati, mencari petunjuk terakhir. Tiba-tiba, lampu padam, dan mereka diserang oleh sesuatu yang tidak terlihat.

Hyunjin: "Awas! Pembunuh itu di sini!"

Mereka berjuang untuk bertahan hidup, saling melindungi satu sama lain. Namun, ketika lampu kembali menyala, Bangchan menyadari bahwa seluruh temannya sudah terbunuh di sekitarnya kini, hanya dia dan Jake yang tersisa.

Bangchan: "Apa yang terjadi? Siapa pembunuhnya!"

Bangchan melihat Jake tersenyum dengan sinis, menggenggam sebuah pisau di tangan.

Jake: "Maafkan aku, Bangchan. Ini bagian dari permainan, selamat tinggal."

Bangchan terkejut, tidak percaya pada apa yang terjadi. Namun, sebelum ia bisa bereaksi, Jake menghilang, meninggalkannya di dalam ruangan yang gelap, sendirian.

Bangchan: "JAKE! APA APAAN INI, KELUARKAN AKU!"

Namun, ketika Bangchan mencoba keluar dari ruangan itu, pintu terkunci rapat dan suara misterius terdengar di belakang Bangchan.

Jake: "Tag, you're it, Bangchan."

Bangchan terdiam sejenak, merasakan keheningan yang menghantui di ruangan itu. Dia meraba-raba dinding, mencoba mencari cara untuk keluar. Namun, pintu tetap terkunci rapat.

Saat Bangchan berusaha mencari jalan keluar, dia merasakan sesuatu yang dingin dan tajam di lehernya. Jake muncul di hadapannya, wajahnya penuh dengan kekejaman yang belum pernah Bangchan lihat sebelumnya.

"Dengan ini, permainan berakhir," ucap Jake dengan dingin, lalu menusukkan pisau itu ke tubuh Bangchan.

Bangchan jatuh ke lantai dengan keputusasaan. Dia melihat ke langit-langit yang gelap, merasakan nyawanya perlahan-lahan meninggalkan tubuhnya. Dalam keadaan terakhirnya, dia berharap teman-temannya yang lain mendapat keadilan.

Namun, tak lama kemudian, suara misterius terdengar lagi, "Tag, you're it," dan Bangchan pun tahu bahwa permainan ini masih belum berakhir.

 

Bangchan merasa tubuhnya semakin lemah saat darah terus mengalir dari luka tusukan Jake. Meskipun demikian, dia mencoba untuk tetap sadar, mencari cara untuk bertahan hidup.

Dengan susah payah, Bangchan meraih sebatang pecahan kaca yang tergeletak di dekatnya. Dengan kekuatan terakhir yang dimilikinya, dia melompat ke arah Jake, mencoba untuk membalas serangan.

Namun, Jake terlalu cepat. Dengan gerakan yang lincah, dia menghindari serangan Bangchan dan menendangnya dengan keras ke dinding. Bangchan merasakan sakit yang menusuk seluruh tubuhnya, tetapi dia tidak menyerah begitu saja.

Dengan tekad yang membara, Bangchan mencoba berdiri lagi. Dia melihat ke sekeliling ruangan gelap itu, mencari peluang untuk melarikan diri. Namun, Jake terus mendekat, senyumnya yang keji membuat Bangchan semakin terdesak.

Saat Jake bersiap untuk serangan terakhirnya, tiba-tiba cahaya terang memenuhi ruangan itu. Suara langkah kaki polisi terdengar di koridor, menandakan kedatangan bantuan yang telah lama dinanti.

Jake melihat ke arah pintu masuk, kemudian kembali menatap Bangchan dengan tatapan dingin. "Kita akan bertemu lagi," bisiknya, sebelum melarikan diri ke dalam kegelapan.

Dengan bantuan polisi, Bangchan berhasil diselamatkan dari kematian yang nyaris saja menimpanya. Dia dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan medis yang mendesak.

Meskipun fisiknya terluka parah, Bangchan tahu bahwa permainan misterius itu masih belum berakhir. Dia bertekad untuk mencari keadilan untuk teman-temannya yang telah menjadi korban, dan mengungkap kebenaran di balik semua ini.

Apakah Bangchan bisa berhasil melaporkannya? Atau ia akan bernasib sama dengan temannya?


Who know's right?

Friday, 1 March 2024

Way Of Life

 


Jake as Azka.
Sunghoon as Satya.

Di malam yang dingin, seorang pemuda berjalan tanpa tujuan di jalanan yang sepi. Tas ranselnya tergenggam erat, memuat beban yang tak hanya terlihat dari fisiknya, tapi juga dari matanya yang penuh dengan keputusasaan. Langkahnya berat, seakan-akan ia memikul beban dunia sendirian.


Namun, ketika ia hendak melangkah ke dalam kehampaan itu, seorang pemuda misterius datang dan menghalanginya dengan keras. Dan ia menawarkan telapak tangan untuk menolongnya. Dengan ragu, ia menerima pertolongan itu, tanpa tahu bahwa pertemuan itu akan menjadi titik balik bagi kehidupannya yang suram.

Pemuda menatapnya dengan penuh kekhawatiran, memohon padanya untuk tidak melakukannya. Keberadaannya yang tak terduga membuat pria itu terdiam, merasakan getaran kecil harapan di tengah kegelapan putus asanya.

Pemuda itu, dengan suara parau, mengungkapkan keraguannya atas keberadaan pemuda itu. Namun, pemuda itu dengan lembut meyakinkannya bahwa setiap jiwa berharga, termasuk miliknya.

Pemuda itu, dengan suara yang tegas namun penuh empati, mengatakan padanya, "Jangan buang sia-sia kehidupanmu." Itu adalah kalimat sederhana namun sarat makna, yang menciptakan dentuman baru di dalam hati pria itu.

Dengan pandangan yang masih kosong, pria itu yang menggunakan seragam yang membalut dirinya bernama Azka, meresapi kata-kata pemuda itu. Perlahan, getaran harapan mulai merayap ke dalam keputusasaannya yang dalam.

Pemuda di depannya, sambil memperkenalkan dirinya sebagai Satya, menawarkan tangan dengan penuh pengertian. Azka menatapnya, menyadari bahwa di tengah gelapnya keputusasaan, mungkin ada cahaya harapan yang datang melalui kehadiran pemuda misterius ini.

Satya mengajak Azka untuk makan di tempat makan dekat kosnya. Meskipun masih terdapat keraguan dalam hatinya, Azka merasa ada kehangatan yang tersirat dari tawaran itu. Dengan langkah ragu namun juga penuh harapan, mereka berdua berjalan menuju tempat makan tersebut.

Tempat Makan..

Di tempat makan, suasana hangat dan ramah menyambut kedatangan mereka. Satya dan Azka duduk di sebuah meja kecil di sudut ruangan, di mana cahaya lembut lampu meja menyinari wajah mereka. Mereka memesan hidangan favorit mereka sambil berbagi cerita tentang hidup masing-masing.

Perlahan tapi pasti, Azka merasa keterbukaan dalam berbicara kepada Satya. Pemuda itu mendengarkan dengan penuh perhatian, tak pernah menghakimi atau mengkritik. Ada kehangatan yang tercipta di antara mereka, seolah-olah Satya adalah teman lama yang telah lama hilang.

Saat mereka menikmati makanan mereka, Azka mulai merasakan benih-benih harapan tumbuh di dalam dirinya. Kehadiran Satya memberinya keyakinan bahwa mungkin, hanya mungkin, ada jalan keluar dari keputusasaannya yang melanda. Dan di tempat makan itu, di bawah cahaya lembut lampu meja, mereka berdua menemukan sedikit ketenangan dalam kegelapan yang mereka alami.

Saat makan hampir selesai, Satya secara tiba-tiba menarik perhatian Azka dengan memberikan selembar kertas. Di atasnya tertera sebuah nomor telepon bersama dengan kata-kata singkat, "Jika kau butuh seseorang untuk berbicara, aku di sini untukmu." 

Azka terkejut dengan tindakan itu, namun juga merasa tersentuh oleh kesediaan Satya untuk membantunya. Dia tersenyum, merasa dihargai dan didengar. Dengan hati yang hangat, Azka melipat kertas tersebut dan menyimpannya di dalam saku, merasa bahwa kini, meskipun masih dalam gelapnya keputusasaan, ada cahaya yang muncul dalam bentuk persahabatan yang baru ditemukannya.

Tidak ada jawaban dari Azka untuk Satya, ia memaklumkan, mungkin pemuda didepannya masih malu. 

Satya, menyaksikan keheningan Azka, menghormati keadaannya dengan sabar. Ketika Azka akhirnya mengeluarkan pulpen dan kertas, Satya memperhatikan dengan penuh perhatian. Saat membaca kata-kata yang ditulis Azka, ekspresi wajah Satya menjadi penuh dengan pengertian.

Tanpa ragu, Satya mengambil pulpen dan kertas yang tersedia di atas meja, dan dengan lembut menuliskan balasan, "Aku di sini untukmu, Azka, tak peduli apa pun keadaanmu. Persahabatan kita tidak tergantung pada kemampuan bicara. Aku akan tetap di sini untukmu, seperti yang seharusnya dilakukan seorang teman." Kemudian, ia menggesek kertas itu ke arah Azka dengan senyum lembut, memberinya kesempatan untuk membaca balasan dari temannya itu.

Azka membaca balasan Satya dengan hati yang hangat, tersentuh oleh kesetiaan dan kebaikan hati pemuda itu. Rasanya seperti menemukan sebuah mercusuar dalam kegelapan yang melanda hidupnya. Meskipun tidak bisa bicara, dia merasa dipahami dan diterima oleh Satya dengan segenap kekurangan dan keunikkannya.

Dengan senyum hangat, Azka menatap Satya, mengungkapkan rasa terima kasih yang tak terucapkan namun sungguh tulus. Di mata Azka, Satya bukan hanya sekadar teman baru, tapi seorang sahabat yang berharga, yang menerangi kegelapan hidupnya dengan kebaikan dan kesetiaannya. Dan di dalam hatinya, Azka berjanji untuk tidak pernah melupakan kasih sayang dan dukungan yang diberikan Satya, bahkan dalam keheningan yang mendalam sekalipun.


Di hari yang sama, Azka pulang dengan diantar oleh Satya. Saat mereka berdua berada di depan pintu kos Azka, Satya mengajaknya untuk pulang ke rumahnya. Namun, Azka menolak dengan lembut, menunjukkan rasa tidak nyaman dan ketakutan yang masih menghantui.

Satya, meskipun sedikit kecewa, mengerti bahwa Azka belum siap untuk membuka diri sepenuhnya. Dengan penuh pengertian, ia mengangguk, menjanjikan bahwa ia akan selalu ada jika Azka membutuhkannya, bahkan jika hanya untuk sekadar menemani dalam keheningan yang menyelimuti.

Dengan senyum kecil, mereka berpisah di depan pintu kos Azka. Satya meninggalkan Azka dengan harapan bahwa suatu hari nanti, Azka akan merasa nyaman untuk menerima bantuan dan dukungannya sepenuhnya. Dan sementara itu, Azka merasa berterima kasih atas kehadiran dan pengertian yang diberikan oleh Satya, meskipun ia belum bisa sepenuhnya membuka diri.


Setelah memasuki kosnya, Azka melihat keadaan yang biasa terjadi: barang-barang berserakan di sana-sini, mengisyaratkan kehadiran ayahnya yang tidak teratur. Meskipun Azka merasa tidak nyaman dengan situasi tersebut, dia tahu bahwa saat ini tidak ada pilihan lain selain tinggal bersama ayahnya.

Ayahnya, seorang pengangguran yang bergantung pada uang ibunya, telah menjadi beban bagi Azka sejak lama. Dan sekarang, setelah ibunya pergi meninggalkannya demi menikah dengan pria kaya, Azka merasa terjebak dalam situasi yang semakin sulit.

Dengan perasaan campur aduk, Azka mencoba untuk menciptakan sedikit kenyamanan di dalam kamar kosnya. Dia tahu bahwa dia harus menghadapi kenyataan yang sulit ini, namun dalam hatinya, keinginan untuk menemukan kebahagiaan dan kedamaian masih tetap hidup. Dalam kegelapan kehidupannya, Azka mencari cahaya harapan, bahkan jika itu hanya secercah kecil yang dapat ditemukan.

Dengan hati-hati, Azka berjinjit agar tidak membangunkan ayahnya yang tertidur akibat efek miras yang diminumnya. Di sudut kamar, dia menemukan botol kosong miras yang berserakan, sisa dari kebiasaan ayahnya yang merugikan.

Azka merasa takut untuk membangunkan ayahnya. Dia tahu bahwa jika dia melakukannya, bisa jadi akan mengundang kemarahan dan kekerasan yang mungkin akan mengakhiri hidupnya. Bekas luka di tubuhnya adalah bukti dari kekerasan yang sudah terjadi di masa lalu.

Dengan hati yang berdebar-debar, Azka mengambil langkah-langkah kecil di sekitar ayahnya, mencoba untuk tidak menimbulkan suara apa pun yang bisa membangunkannya. Dia tahu bahwa meskipun dia menderita di bawah aturan ayahnya yang keras, hidupnya masih berharga, dan dia berusaha untuk bertahan sebaik mungkin, bahkan dalam keadaan yang sulit seperti ini.

Keesokkan harinya..

Keesokan harinya, Satya duduk di taman yang dekat dengan jembatan tempat ia bertemu dengan pria bernama Azka kemarin. Dalam keheningan taman yang tenang, Satya fokus mengerjakan tugas gambarannya. Sesekali, ia bersenandung pelan mengikuti alunan lagu instrumental yang terdengar di kejauhan.

Meskipun dalam kesunyian, ada kehadiran yang hangat dan menyenangkan di sekitar Satya. Suara burung yang bernyanyi, angin yang berdesir lembut, dan cahaya matahari yang menyinari taman dengan hangat, semua itu membawa kedamaian ke dalam hatinya.

Saat melihat ke jembatan, Satya teringat pertemuan kemarin dengan Azka. Meskipun Azka tidak ada di sana saat ini, Satya merasa bersyukur telah memiliki kesempatan untuk bertemu dengan pria yang memiliki keunikan dan kebaikan hati seperti Azka. Dalam pikirannya, dia berdoa agar Azka juga menemukan kedamaian dan harapan dalam kehidupannya yang sulit. Dan dengan tugas gambarannya yang terus berkembang di depannya.

Saat Azka tidak sengaja lewat di seberangnya, Satya yang melihatnya langsung memanggil namanya dengan penuh kegembiraan. Namun, begitu ia menyadari bahwa Azka tidak dapat mendengar atau berbicara, rasa haru menyelimuti hatinya.

Sisi Azka..

Dengan langkah-langkah yang cepat, ia terus berjalan, tangan kanannya menggenggam erat kantong kresek yang berisikan miras titipan dari sang ayah.

Di dalam keheningan pikirannya, Azka merasa terjebak di antara perasaan cemas dan keputusasaan yang tak terhingga. Dia tahu bahwa mengandalkan miras untuk melupakan kehidupannya yang menyedihkan adalah keputusan yang salah, namun rasa putus asa dan ketakutan telah meracuni pikirannya.

Melihat Azka berjalan dengan langkah cepat, Satya segera mengemasi barangnya dengan cepat dan bergerak mengejar Azka. Dalam hatinya, Satya merasa perlu untuk memastikan bahwa Azka baik-baik saja, terutama setelah merasakan kegelisahan dari tatapannya yang terlihat takut dan terjebak.

Dengan langkah yang mantap, Satya mempercepat langkahnya, berusaha mengejar Azka yang semakin menjauh. Sampai akhirnya, setelah mengejar dengan penuh tekad, Satya berhasil menemukan Azka dan menjangkau tangannya dengan penuh perhatian. Dengan senyum hangat, ia berusaha menenangkan Azka, siap mendengarkan dan memberikan dukungan apa pun yang dibutuhkan oleh temannya itu.

''Azka..'' nafas tak beraturan terlihat dari Satya yang baru saja datang dan menggengam tangannya. Azka yang tak paham dengan tuturan pemuda depannya hanya memiringkan kepala tanda tak paham.

Satya merasakan kebingungan yang tampak di wajah Azka. Meskipun Azka tidak bisa mendengar atau berbicara, Satya tetap berusaha menyampaikan pesannya dengan bahasa tubuh. Dengan lembut, ia menyentuh pelan lengan Azka, menunjukkan bahwa dia ada di sana untuknya.

"Dengarkan," ucap Satya dengan lembut, meskipun ia tahu bahwa kata-katanya tidak akan sampai pada telinga Azka. "Aku di sini untukmu. Aku ingin membantumu." Meskipun Azka mungkin tidak bisa memahami sepenuhnya apa yang Satya katakan, namun ia merasakan kehangatan dari sentuhan dan tatapan pemuda di depannya.

Satya membaca tulisan yang tertulis di kertas yang baru saja diberikan oleh Azka, dan ia memahami bahwa Azka sedang terburu-buru. Dengan sikap yang penuh pengertian, Satya mengangguk, menunjukkan bahwa ia mengerti. "Tidak apa-apa, Azka," katanya dengan lembut, meskipun ia tahu bahwa Azka tidak bisa mendengar suaranya.

Dengan tangannya, Satya menuliskan balasan singkat di kertas yang sama. "Aku akan menunggumu di sini jika kamu butuhkan teman. Hati-hati, Azka." Kemudian, dengan senyum yang hangat, Satya memberikan kertas itu kepada Azka.

Dengan hati yang sedikit lega, Azka menerima kertas dari Satya dan mengangguk sebagai tanda terima kasih. Meskipun tidak bisa berbicara, Azka merasa dihargai dan didengar oleh Satya. Dengan langkah cepat, Azka berbalik dan bergegas kembali ke rumahnya.


Di rumah Azka, terlihat bahwa ia terlambat membawakan barang titipan dari sang ayah. Melihat keterlambatan itu, sang ayah menjadi emosi dan marah. Dalam kemarahannya, sang ayah memutuskan untuk menghukum Azka dengan keras.

Tanpa ampun, sang ayah menyuruh Azka untuk tidur di gudang tanpa makanan sepanjang hari, mengunci pintu gudang sebagai bentuk hukuman atas keterlambatannya. Meskipun Azka mencoba menjelaskan atau memohon ampun, namun kata-katanya tak bisa diucapkan, dan ia hanya dapat menangis dalam keputusasaan yang mendalam.

Dalam kegelapan dan kesendirian gudang, Azka merasakan pukulan emosi yang luar biasa. Meratapi nasibnya yang tak berdaya, ia bertanya-tanya apakah ia akan pernah menemukan jalan keluar dari kehidupannya yang penuh penderitaan dan keputusasaan. Dalam kegelapan itu, Azka hanya bisa berdoa agar ada cahaya harapan yang akan menyinari kehidupannya yang gelap.

Disisi Satya..

Dengan perasaan yang berat, Satya menghela nafas panjang saat ia tidak menemukan kehadiran Azka di taman dekat jembatan seperti yang diharapkannya. Meskipun ia berusaha menunggu dengan penuh harap, namun kekecewaan yang ia rasakan menambah beban di hatinya.

Dengan langkah yang berat, Satya memutuskan untuk pergi ke kampus karena sudah mendekati jamnya. Meskipun hatinya masih terpikirkan Azka dan kekhawatiran atas keadaannya, namun ia menyadari bahwa ia juga memiliki tanggung jawab dan kewajiban lain yang harus dihadapinya.

Saat duduk di kelas, Satya tidak dapat fokus dengan ajaran dari dosen. Pikirannya melayang ke kekhawatirannya tentang Azka, membuatnya gelisah dan tidak dapat memusatkan perhatiannya pada pelajaran. Setiap kata dari dosen terasa seperti berat, dan ia merasa tertekan karena tidak bisa menemukan kehadiran Azka di taman.

Apa yang diajarkan dosen tentang seni dimasa lalu, yang seharusnya menarik perhatian Satya, terasa membosankan dan tidak relevan bagi pikirannya yang sedang dipenuhi dengan keprihatinan terhadap Azka. Ia mengerutu dan ingin cepat pulang, mengabaikan sepenuhnya pelajaran yang sedang disampaikan. Dalam pikirannya, Satya hanya ingin segera kembali ke taman dekat jembatan untuk mencari Azka. Kecemasannya terhadap temannya itu membuatnya sulit untuk fokus pada hal lain.

Malamnya.. disisi Azka..

Malam datang dengan keheningan yang menyedihkan. Terkurung di dalam gudang tanpa makanan dan terkunci, Azka merasa putus asa dan kesepian. Dalam kegelapan yang menyelimuti, ia merenungkan nasibnya yang tidak adil, terjebak dalam lingkaran penderitaan yang tak kunjung berakhir.

Dalam keheningan malam yang gelap, Azka hanya bisa berdoa agar ada cahaya harapan yang menyinari jalannya, dan mungkin, hanya mungkin, ia bisa menemukan jalan keluar dari kegelapan yang membelenggunya. Dengan hati yang berat dan pikiran yang penuh dengan ketidakpastian, Azka memejamkan mata dalam upaya mencari sedikit kedamaian di dalam kesendirian yang menyiksanya. Ia mulai merasakan ada yang membuat matanya terasa berat, dan ia memutuskan untuk tidur.

Hal mengejutkan datang padanya..

Tiba-tiba, dalam kegelapan yang menyelimuti gudang, terdengar suara gemeretak di luar pintu. Azka, yang sedang terlelap dalam kelelahan dan keputusasaan, tersentak kaget. Dia menegakkan tubuhnya, merasa waspada terhadap kehadiran yang tak terduga di luar.

Dengan perlahan, pintu gudang terbuka dan cahaya redup mulai memenuhi ruangan gelap. Azka menatap dengan heran saat seseorang memasuki gudang dengan langkah hati-hati. Saat sosok itu mendekatinya, Azka dapat melihat bahwa itu adalah Satya, temannya yang telah menghilang di taman tadi siang.

Ketika Azka memandang Satya dengan tatapan bingung, Satya tersenyum hangat. "Aku datang untukmu, Azka," katanya dengan lembut. "Aku di sini untuk membantumu keluar dari sini." Dengan penjelasan singkat itu, Azka merasa terkejut dan bersyukur, merasakan sedikit sinar harapan di tengah-tengah kegelapan yang mengepungnya.

Namun, sepertinya itu hanya mimpi semata..

Dengan perasaan campur aduk dari kejutan dan kecemasan, Azka menyadari bahwa yang datang bukanlah Satya, melainkan ayahnya sendiri. Ketegangan langsung terasa di udara saat sang ayah memasuki gudang dengan botol kaca sisa mirasnya di tangan.

Azka menatap ayahnya dengan perasaan campur aduk, mencoba menyembunyikan rasa takut yang menggelayutinya. Di dalam hatinya, ia merasa gelisah menghadapi kemarahan dan kekerasan yang mungkin akan terjadi. Dengan suara yang berat, ayahnya berbicara dengan nada marah. "Kau membuatku marah, Azka," ucapnya, tatapan tajam yang penuh dengan kekecewaan. "Apa yang harus kuperbuat denganmu?"

Azka merasa gemetar, menyadari bahwa ia mungkin menghadapi hukuman yang lebih berat dari ayahnya. Dalam keputusasaannya, ia mencoba mencari titik terang di tengah-tengah kegelapan yang kini semakin dalam.

Dengan keberanian yang tumbuh dari putus asa dan keinginan untuk bebas, Azka mengumpulkan seluruh tenaganya untuk melawan ayahnya. Dalam waktu yang singkat, Azka berhasil melarikan diri dari sang ayah dan bergegas ke arah kamarnya.

Dengan gerakan cepat, Azka mengemasi barang-barangnya dengan gemetar, merasa ketakutan dan panik akan kemarahan ayahnya yang bisa datang kapan saja. Setelah memastikan bahwa ia membawa segala yang dibutuhkannya, Azka melompat ke jendela kamarnya dan kabur ke kegelapan malam.

Dengan napas terengah-engah dan hati yang berdebar kencang, Azka berlari menjauh dari rumahnya, menjauh dari kehidupan yang penuh dengan penderitaan dan kekerasan. Dalam kegelapan malam yang gelap, ia mencari tempat perlindungan, berharap bahwa suatu hari nanti ia bisa menemukan kedamaian yang telah lama ia cari.


Dengan nafas terengah-engah dan hati yang berdebar kencang, Azka terus berlari sekuat tenaga menjauh dari wilayah rumahnya yang penuh dengan ketakutan dan penderitaan. Setiap langkahnya membawa dia semakin jauh dari kegelapan yang pernah mengurungnya.

Akhirnya, Azka tiba di tempat jembatan yang familiar, tempat di mana ia pertama kali bertemu dengan Satya. Di sana, di tengah kegelapan malam, ia melihat sosok duduk di tepi jembatan.

Saat Azka mendekat, ia menyadari bahwa itu adalah Satya. Dalam kegembiraan dan kelegaan, Azka hampir tidak percaya bahwa mereka bertemu lagi di tempat yang sama seperti sebelumnya. Dengan hati yang berdebar kencang, Azka berjalan mendekati Satya, merasakan harapan dan ketenangan yang mulai menyelimuti hatinya.


Azka merasakan keanehan saat kakinya berjalan cepat menuju Satya, namun ia merasa seolah-olah hanya berjalan di tempat. Sensasi aneh itu semakin membingungkan Azka, membuatnya merasa seperti terperangkap dalam ruang gelap yang tak berujung. Tiba-tiba, Azka merasakan beban yang berat menimpa kepalanya, membuatnya merasa pusing dan kehilangan kesadaran. Dunia di sekelilingnya menjadi semakin kabur dan gelap, hingga akhirnya ia pingsan.

Azka membuka matanya lalu ia melihat Satya sedang menawarkan telapak tangan untuk menolongnya. Hal itu membuatnya kebingungan setengah mati, apakah ia kembali kemasa lalu atau apa? 

Azka memandang Satya dengan kebingungan yang mendalam, tidak yakin apa yang sedang terjadi. Telapak tangan Satya terulur di depannya, menawarkan bantuan untuk membantunya bangkit dari pingsannya. Sensasi bingung dan keanehan masih memenuhi pikirannya, membuatnya ragu untuk menerima tawaran Satya.

Namun, terdapat kehangatan dan kebaikan dalam mata Satya yang memancar, seakan menawarkan jaminan bahwa segala sesuatunya akan baik-baik saja. Dengan hati yang dipenuhi oleh kombinasi antara ketakutan dan harapan, Azka akhirnya mengulurkan tangannya dan menerima bantuan dari Satya.

Setelah duduk tegak, Azka memperhatikan sekelilingnya. Semuanya tampak familiar seperti sebelumnya, tetapi ada kehadiran Satya di sampingnya yang membuatnya bingung. Apakah ini merupakan waktu yang sama dengan pertemuan pertama mereka atau ada sesuatu yang berbeda?

Dengan perasaan yang campur aduk, Azka memutuskan untuk mengajukan pertanyaan kepada Satya, mencari kejelasan dan pemahaman atas kejadian yang baru saja dialaminya.

Dengan gemetar, Azka mengeluarkan kertas dan pulpen dari dalam tasnya. Dengan hati yang berdebar-debar, ia mulai menulis pertanyaan yang berputar di benaknya, mencoba merangkai kata-kata yang sesuai dengan kebingungannya. Setelah selesai, ia menyerahkan kertas itu kepada pemuda di hadapannya, yang menurutnya adalah Satya.

Satya, dengan ekspresi bingung, menerima kertas yang diberikan oleh Azka. Matanya melintasinya dengan cepat, membaca setiap kata dengan seksama. Namun, kebingungan semakin menyelimuti wajahnya saat ia menemukan pertanyaan yang tertera di kertas itu.

"Saya bingung," ucap Satya. "Bagaimana Anda bisa tahu namaku?"

Azka memandang Satya dengan tatapan heran. Pertanyaan Satya membuka lembaran baru misteri di antara mereka berdua. Dalam kebingungannya, Azka berusaha mencari jawaban, tetapi kebenaran masih belum terungkap.


-qfs