Baby - Justin Bieber (Chaewon Le Sserafim and Sunwoo The Boyz)

Kim Chaewon as Theodora Khandra Camellia

Love On The Competition

Christopher Bahng As Alvino Tian Rivendra - gitaaa

Saturday, 18 May 2024

Asing - Juicy Luicy

 

"Eh, hai" sapanya canggung. "Selamat buat kelulusanmu ya," gadis itu tersenyum ramah. "Makasih, Rama," jawab Manda dengan senyuman. "Kembali," balas Rama. Manda memandangi Rama, merasa ada yang ingin dia katakan dengan serius. "Kamu gak ngumpul sama teman-temanmu yang lain?" tanyanya. "Ini lagi nunggu temen, iya temen hehe," jawab Rama dengan canggung. "Owh," singkat Manda. "Ada yang salah, kah?" tanya Manda dengan lembut. 

Rama menggeleng pelan. "Enggak, enggak ada yang salah. Lanjutin ngobrolnya sama temannya, aku di sini sampai temanku dateng," jawabnya dengan canggung. Manda mengangguk, meskipun dia tidak benar-benar percaya bahwa itu semua yang ada di pikiran Rama. "Kamu tahu kamu bisa curhat padaku jika ada masalah, kan?" Rama tersenyum kecut. "Iya, aku tahu. Terima kasih, Manda."

....

"Ayo move on, Ram. Masa dari tahun lalu lalu ngomong mau move on gak jadi jadi, hayo galau" kecoh Bian "Yakin mah kalo kali ini, kayaknya" Rama mengulum bibirnya sendu "Masbro masbro. Sudahi galau mu, mari kita ngopi" seru Bian.

"Ma, lo udah ada rencana mau kuliah apa langsung kerja" tanya Andre pada Rama, namun Rama hanya diam, terlarut didunia nya sendiri. "Buset bi, itu sahabat lo kenapa?" ucapnya pada Bian "Gatau sumpah. Paling tu anak galau, gegara info terbaru tentang Manda" jawab Bian "Oh iya ya. Tapi siRama itu udah gak bisa ngapa ngapa lagi ya, karna udah asing" seru Andre. Terasa disindir, Rama melempar tisu ke arah muka Andre "Kalo mau nyindir jangan dibelakang orangnya dong, ngomong didepannya langsung" kesal Rama "Ini udah didepan, yakali ngomong dibelakang. Lo kira gua cowok apaan" jail Andre "Banci" jawab Rama.


One years ago


"Kamu itu pacaran apa sama si Rama Rama itu? perasaan tiap hari deket banget kek gula ma semut" ujar Bunga "Hei, aku sama Rama cuman temen. Yakali aku ada perasaan jauh sama dia, no no way" jawab Manda "Masa sih, walau aku minus ni. Masih bisa liat kalo kamu itu ada rasa sama Rama no debat no kecot" timpal Manda "Gak, aku aja pdkt sama Dion. Gak mungkin aku ada perasaan sama temen kecil" sewot Manda. "Oh berati si Rama yang suka sama kamu, karena dia deket ma cewek cuman sama kamu sisanya dia gak tertarik loh" kata Bunga "Betul tu betul" timpal Sarah.

"Hallo, boleh gabung gak?" tanya Rama tiba tiba. "Hoi! cowo dilarang mendekat" kata Sarah "Bener, kamu cowo apa cewe? kok suka nimbrung gitu" timpal Bunga. Rama terkekeh pelan, "Gitu ya, oke deh" jawab Rama. Saat Rama ingin pergi, Manda cengkram pelan seragam Rama "Kenapa Man?" tanya Rama "Nanti pulang gak usah anterin aku lagi," jlebb hati Rama terbelah menjadi dua. "Kenapa emangnya? nanti kalo bunda nanya gimana?" cemas Rama "Kita agak jaga jarak ya, maksutku, aku takut kalo kita dibilang pacaran sama satu sekolah. Jadi-" Manda belum melanjutkan ucapannya sudah disela oleh Rama "Oh, yaudah sih" dengan cepat ia melepaskan genggaman Manda yang berada diujung seragamnya dan pergi menghilang.

Dua sahabat Manda yang melihat itu hanya diam menyimak. Sungguh drama anak sekolahan batin Bunga dan Sarah.

Pulang sekolah

"Aduh Rama Rama. Kok bisa tadi pas razia kamu ketauan bawa rokok?" ucap guru BK "Maaf pak," tunduk Rama. Ia merasa tidak pernah merokok dari kecebong tapi kok tiba tiba ada bungkus sama koreknya di tasnya. "Ini peringatan yang pertama, kalo ketauan untuk kedua kalinya. Bapak tak segan segan untuk memanggil kedua orang tuamu." tegas guru BK "Ya pak, maaf sekali lagi."

"Rama? kok kamu bisa keterlaluan gitu? kamu lupa sama janji dulu?" geram Manda. Rama melihat kearah Manda, tak lupa ada Dion disebelah Manda menemani. Manda menatap Rama dengan ekspresi marah yang tidak tertahankan. "Rama, ini sungguh keterlaluan! Kamu selalu saja mengacaukan segalanya. Apa yang ada di pikiranmu?!" Rama merasa tertekan oleh kemarahan Manda. "Manda, aku beneran gak tau kok bisa rokok itu masuk ke dalam tasku. Dan aku gak ngelakuin itu, sumpah."

Manda menggeleng frustasi. "Udahlah, aku capek Ma. Alasanmu selalu gak bener dan gak masuk akal, jelas jelas itu ada-" Manda frustasi melihat kelakuan sahabatnya ini.  Rama merasa hatinya ditusuk panah tajam dan menempel dihatinya. Manda hanya menghela nafas kesal. "Lakukanlah apa yang kamu mau. Aku harap kamu bisa menyelesaikan masalah ini dengan baik sebelum hal-hal menjadi lebih buruk." Manda pergi dari situ meninggalkan Dion dan Rama. Dion tersenyum "Kasiannya." ejeknya pada Rama lalu kabur mengejar Manda.

Malamnya

Rama memasuki kamarnya. Ia duduk di kursi meja belajarnya lalu mengambil sebuah kotak, lalu ia mengeluarkan sebuah polaroid yang sudah disusun rapi. "Kamu berubah Man," sendu Rama. Ia mengusap usap wajah Manda dipolaroid itu. Rama mengambil hp nya lalu membuka kontak milik Manda. 

"Hallo?" ucap sebrang. "Hallo," panggil Rama. "Kenapa?" tIba tiba suara milik milik Manda berubah dingin "Maaf ganggu, besok bisa ketemu gak pulsek?" ragu Rama. Manda terdiam sejenak di ujung telepon, sepertinya mempertimbangkan permintaan Rama. Akhirnya, dia menjawab dengan nada yang sedikit lebih lunak, "Ok."kata Manda singkat setelah itu ia menutup teleponnya sepihak.

Esoknya

"Maaf Man," kata Rama "Buat apa?" tanya Manda. "Untuk masalah kemarin, sama aku ngetreat kamu yang mungkin buat satu sekolah salah paham," ucap Rama, mencoba menjelaskan. Manda diam sejenak, tampaknya ingin menyelanya. Namun, Rama tak mau kehilangan kesempatan untuk berbicara. 

"Tapi sebelum aku menjauh, aku harus berterus terang. Jujur, aku rasa pertemanan kita seharusnya tidak terjadi. Kita tahu, hubungan pertemanan antara lawan jenis seringkali berkembang menjadi lebih dari sekadar pertemanan." Kata-kata Rama terputus oleh suara Manda yang membuang nafas panjang.

"Ngomong langsung ke intinya, tanpa basa-basi. Jadi, kamu suka ma aku?" kata Manda tegas, memotong ucapan Rama. Rama merasa seperti hatinya tersentak. "Ya, tepat sekali," ucapnya dengan canggung, hatinya berdesir dalam-dalam.

....

"Hah? seorang Rama anak dari tante-. I mean, kok bisa seberani itu?" ucap Andre "Lanjutin, Ram" timpal Bian. "Keliatan kan dari mukaku?" ketus Rama tapi masih ada nada nada sendu "Oh iya, lanjutin galau nya" jawab Andre "Kalo butuh tempat curhat, ada kami" timpal Bian "Ya, trims." setelah itu Rama melanjutkan diam dan berlarut ke dunianya sendiri. 

Malamnya

"Dre, yang bener aja, anaknya lagi galau kamu ajak ke karauke?" ketus Bian "Justru itu, dia harus luapin kesini biar dia lebih relaks" jawab Andre "Lo emang gila ya-" belum sempat melanjutkan Rama merangkul kedua temannya itu "Kita kan teman, nggak ada salahnya menghabiskan waktu bersama di tempat yang menyenangkan, kan?" katanya sambil mengajak mereka masuk ke dalam ruangan karaoke.

Bian dan Andre saling bertatapan sebelum akhirnya tersenyum mengikuti Rama. "Kamu benar, Rama," kata Andre sambil mengangguk. "Kita memang butuh waktu bersama untuk melepas penat." Bian menggelengkan kepala sambil tersenyum. "Kamu memang gila, Rama, tapi inilah yang membuatmu istimewa." Mereka bertiga kemudian masuk ke dalam ruangan karaoke dengan semangat, siap untuk menikmati malam bersama dengan lagu-lagu favorit mereka.

....

Rama menangkap mikrofon dengan semangat, lalu memulai lagu "Juicy Luicy" dengan penuh semangat. Dia menutup mata, membiarkan dirinya terbawa oleh melodi dan lirik lagu tersebut. Dengan setiap nada yang dinyanyikannya, dia merasakan dirinya terhubung dengan emosi yang tersirat dalam lirik-lirik lagu itu.

Sambil Rama menikmati momen tersebut dengan sepenuh hati, Bian dan Andre, teman-temannya, tak bisa menahan tawa mereka. Mereka merasa senang melihat Rama begitu terbawa dalam lagu tersebut, dan mereka pun merekam momen itu dengan ponsel mereka sambil tertawa-tawa.

Rama sama sekali tak peduli dengan tawa-tawa teman-temannya. Dia hanya fokus pada lagu yang dinyanyikannya, membiarkan emosi mengalir begitu saja. Setiap lirik yang diucapkannya terasa seperti ungkapan dari hatinya sendiri.

Ketika lagu selesai, Rama membuka mata dengan senyum puas di wajahnya. Dia merasa begitu lega dan bersemangat setelah melepaskan semua emosinya melalui lagu itu. Melihat reaksi positif dari teman-temannya, Rama merasa bahagia bahwa mereka bisa menikmati momen tersebut bersama-sama.

"Lega!" teriak Rama dengan semangat, senyumnya merekah di wajahnya. Ia merasa seperti sebuah beban telah terangkat dari pikirannya. Bian dan Andre tertawa melihat antusiasme Rama. Mereka merasa senang melihat teman mereka begitu bersemangat dan bahagia.

"Kamu hebat, Rama!" puji Bian sambil memberikan tepukan di bahu Rama. Andre mengangguk setuju. "Bener, kamu bener bener menghayati lagunya. Keren!" Rama tersenyum lebar, merasa bangga dengan penampilannya. "Makasih. Kalian juga membuat malam ini jadi lebih menyenangkan." Mereka bertiga kemudian melanjutkan malam mereka dengan tertawa dan bernyanyi bersama, menikmati setiap momen bersama sebagai teman yang solid.

Besoknya saat istirahat

Rama menarik napas dalam-dalam saat melihat Manda dan Dion bersama-sama di sekolah. Dia merasa sesak di dada, meskipun mencoba menutupi perasaannya dengan senyuman. Tapi, kadang-kadang tingkah laku mereka yang bersama-sama dan terlihat akrab membuat Rama merasa cemburu dan sedih.

Dia mencoba untuk tidak memperlihatkan perasaannya di depan mereka, tetapi di dalam hatinya, dia merasa hancur. Rama berusaha memalingkan pandangannya dan fokus pada tugas-tugas sekolahnya, mencoba mengabaikan kehadiran Manda dan Dion di sekitarnya.

Namun, beberapa kali, Dion menyapa Rama dengan suara kencang atau memberi ejekan yang membuat Rama semakin merasa tidak nyaman. Rama mencoba untuk tetap tenang dan tidak terpengaruh, tetapi rasanya semakin sulit untuk menyembunyikan perasaannya.

"Hoit!" lamunan Rama bubar akan kehadiran Andre "Ngelamun bae, liatin sapa?" Andre menelusuri sudut mata Rama yang sedang melihat dua sejoli itu. "Ohhh, waduh. Jangan diliatin terus napa, nanti makin nyes loh" ucap Andre, "Ah, bukan apa-apa, Andre. Hanya memikirkan tugas sekolah saja," ucapnya, mencoba menutupi perasaannya.

Andre mengerutkan kening, tidak sepenuhnya yakin dengan alasan Rama. "Kalo gitu kenapa muka lo kayak habis liat hantu? Ada yang bikin lo ga enak hati?" tanyanya dengan nada penasaran. Rama menggeleng cepat. "Gak, gapapa. Aku baik-baik aja," jawabnya dengan suara yang coba terdengar yakin. Andre meng oh ria, seolah-olah mengerti apa yang sebenarnya terjadi. "Baiklah, kalau kamu bilang begitu."

"Btw mana Bian?" tanya Rama sambil liat kesekeliling Andre "Hah? ku kira dia bareng sama kamu" jawab Rama. Mereka berdua dikejutkan dengan keberadaan Bian tiba tiba, "Heh ngagetin aja!" desus Andre "Itu-" ucap Bian sambil ngos ngos an, "Tarik nafas" Bian menarik nafasnya "Buang" lalu ia membuangnya "Nah sekarang ucapkan kenapa," ujar Rama. Bian menunjuk nunjuk kearah jendela "Itu si Dion kakel, nembak Man-" belum sempat lanjut ngomong si Rama udah nyelonos kearah jendela buat liat kejadiannya.

Rama, dan Andre terkejut mendengar pengakuan dari Bian. Mereka segera tertarik untuk melihat ke arah jendela, ingin tahu apa yang sedang terjadi. Mereka berdiri berdempetan di dekat jendela, mencoba untuk tidak terlihat oleh Dion dan Manda yang berada di luar. Mereka melihat Dion dengan wajah tegang, tampaknya sedang berbicara dengan serius kepada Manda yang terlihat agak terkejut.

"Apakah dia...?" bisik Rama, matanya terpaku pada pemandangan di luar. Bian mengangguk cepat. "Ya, dia sedang mengungkapkan perasaannya pada Manda." Andre menarik nafas dalam-dalam. "Ini membuat semuanya semakin rumit."

Rama merasa seperti hatinya terhentak. Dia tidak tahu apa yang harus dia pikirkan atau rasakan. Melihat Manda dan Dion bersama-sama di luar sana, dengan Dion menyatakan perasaannya, membuatnya merasa campur aduk. Rasanya seperti sebuah pukulan di perutnya.

Di rumah Bian

"Terus apa penjelasan dari Manda?" kepo Andre "Iya, mereka resmi pacaran." jawab Rama. byurr.. air yang sedang diminum oleh Bian tersembur begitu saja kekarpet kamarnya, "Hah apa apa? resmi? kok bisa," kaget Bian "Mana kutau, pas kutanya itu dia jawab itu mana pas aku nanyain kayak aku masih gamon ma dia haha" sendu Rama "Sudahlah," ucap Andre sambil menepuk nepuk punggung Rama "Sedih plus galaunya jangan berkelanjutan, gak baik. Nanti kambuh loh maagnya" lanjutnya "Hmm, trims."

"Dimakan cemilannya, maafin tante ya cuman kasih segini aja." kata Mama dari Bian "Gapapa tante, ini udah lebih dari cukup" jawab Andre, "Makasih ya tante." serontak Andre dan Rama saling menatap lalu tertawa. "Ada ada aja, sama sama nak. Nikmati ya" setelah itu Mama dari Bian pun pergi meninggalkan mereka bertiga. "Oi, mau main PS gak?" tanya Bian. "Gas!" jawab Rama dan Andre

....

"Aku pulang dulu ya," kata Rama pada keduanya. "Kok cepet? kita juga belum kerkom," saut Andre "Iya sih, cuman aku takut si Lou kelaperan" jawab Rama, "Loh Lou dah pulang?" tanya Bian "Iya. Perasaan Rama udah ngestory in Lou deh, masa belum liat" ujar Andre. "Oh iya, kemarin aku sibuk euy sama ekskul gak sempet buka hp." jawab Bian "Yaudah kapan kapan kerumahku gih, ntar bisa ketemu Lou. Btw dia udah gak kayak kain pel lagi, udah kinclong" ucap Rama. "Okdeh" kata Andre "Besok besok aku kesana oke, dadah" ucap Bian. 

Dirumah Rama

"Malem, Mi, Pi," sapa Rama sambil melepas sepatu di pintu, baru saja kembali dari rumah Bian. "Semangat ya, nak," tiba-tiba ucap Papi Rama, mengejutkannya sedikit. "Buat apa, Pi?" tanya Rama, agak bingung. "Buat ujianmu dong, kok pake nanya," saut Mami Rama sambil tersenyum. Rama mengangguk, berusaha menunjukkan semangat meskipun pikirannya masih kacau. "Oh, iya. Makasih, Mi, Pi."

Namun, sebelum Rama sempat bergerak lebih jauh, Papi-nya melanjutkan, "Selain itu, semangat juga ya. Papa lihat di postingan Instagram tadi. Manda udah pacaran ya?" Rama merasakan sakit yang tajam di dadanya. "Haha, iya, Pi. Mereka pacaran dari pagi tadi," jawab Rama dengan tawa yang dipaksakan. "Waduh, anak Mami nggak apa-apa kan?" timpal Mami Rama sambil mengusap lembut rambut hitam anaknya. "Kamu kuat, Rama. Jangan terlalu dipikirkan ya."

Rama terkejut mendengar perhatian dari orang tuanya, tapi dia merasa hangat. "Iya, Mi. Aku baik-baik aja kok. Malah, mungkin ini bagus buat aku. Lebih gampang move on." Mami dan Papi Rama tersenyum dengan penuh kasih sayang, memberi dukungan tanpa banyak kata.

....

Kamar Rama yang bernuansa biru dongker terasa tenang dan nyaman, dengan lukisan foto masa kecilnya yang dipajang indah di dinding, memberikan sentuhan nostalgia. Ia menaruh tasnya sembarangan di dekat meja belajar, merasa lelah dan banyak pikiran mengganggu benaknya. 

Memutuskan untuk mandi agar lebih rileks, Rama mengambil handuk dan segera menuju kamar mandi. Air hangat yang mengalir di tubuhnya membantu meredakan ketegangan dan memberikan sedikit ketenangan setelah hari yang penuh emosi.

Sementara itu, di kamarnya, ponsel Rama yang diletakkan di atas meja terus-menerus bergetar dengan notifikasi yang masuk. Pesan-pesan dari teman-temannya, update media sosial, dan mungkin juga beberapa panggilan tak terjawab mulai menumpuk tanpa disadari oleh Rama.

Selesai mandi, Rama merasa sedikit lebih baik. Ia mengeringkan tubuhnya dan mengenakan pakaian yang nyaman sebelum kembali ke kamarnya. Saat duduk di tempat tidur, ia akhirnya menyadari banyaknya notifikasi di ponselnya. Dengan rasa penasaran, ia mengambil ponsel dan mulai memeriksa pesan-pesan yang masuk.

Ada beberapa pesan dari Andre dan Bian, yang masih membahas kejadian di sekolah tadi. Mereka mengirim pesan-pesan penyemangat dan beberapa meme lucu untuk menghibur Rama. Selain itu, ada beberapa notifikasi dari media sosial, termasuk beberapa update dari teman-teman sekelasnya yang membicarakan hubungan baru antara Manda dan Dion.

Rama menghela napas panjang, merasa sedikit terbebani oleh semua informasi itu. Namun, dia juga merasa beruntung memiliki teman-teman yang peduli padanya. Dengan tekad baru, Rama memutuskan untuk fokus pada hal-hal positif dan perlahan mulai move on dari perasaannya terhadap Manda.

Empat bulan kemudian

Sabtu pagi, adalah hari yang paling ditunggu oleh semua orang termasuk Rama. Ia baru bangun dan kebangun karena notifikasi grup yang menumpuk dari tadi malam hingga pagi ini. "Ayo jogging," vn dari Andre dan dibalas oleh Bian "Mau sampe seratus kali ngajak jogging, paling elu duluan yang kebo" balas Bian. "YEUUU, biar. Tapi besok itu sungguhan, demi temanku Rama, yagak?" saut Andre "Udah bobok anaknya, liat tu ketikkannya udah kek ceker ayam typo melulu." jawab Bian. Rama dipagi hari sudah bahagia akibat perilaku teman temannya ini. "Ada ada aja si" batin Rama.

Tok.. Tok..

"Rama, ini ada Bian sama Andre. Tanyain gih, pagi pagi kok udah dateng bertamu" ucap sang Mami dari Rama dari balik pintu "OH, oke Mi. Lima menit Rama turun."

....

"Iya tante, maaf repotin pagi pagi" ramah Bian "Gak usah sungkan, kayak sama siapa aja" jawab Mami Rama, mereka berdua tertawa pelan. "Oi, ini beneran jogging?" teriak Rama dari atas kepada dua temannya itu "Heh, Papimu masih dialam mimpi. Bisa bisanya teriak, turun!" tegas Mami Rama, dua anak yang melihat itu tertawa puas. 

"Aduh.. sakit Mi" kesal Rama "Lain kali jangan teriak teriak pagi pagi" ucap Mami Rama "Hmmmm". "Ayo, Tante kami pamit dulu ya" ujar Bian "Sampai jumpa lain waktu te" ramah Andre

Diperjalanan jogging

"Aduh, aduh" sesal Andre "Napa Ndre?" tanya Bian, Andre memegang lututnya "Kaki guwa sakit," ucapnya "Hek eleh, kaki yang sakit yang dipegang lutut. Yang pinter kalo nyari alasa euy" kata Bian sambil memukul bahu Andre hingga jatuh ketanah "Makin sakit ni, aduh.. aduhh" keluh Andre alay.

Rama menoleh kebelakang. "Kenapa kenapa?" tanya Rama bingung "Tinggalin aja ni Andre, alay banget edan" jawab Bian kesal "Lah napa," bingung Rama "Auk lah, aku duluan" setelah itu Bian pergi dahulu meninggalkan Rama dan Andre berdua.

Andre melihat ke Rama "Hehe" kekehnya " kekeh Andre, "Cepet berdiri, 1.. 2.." ujar Rama. Sebelum itungan ke tiga Andre sudah berdiri dan langsung lari pergi meninggalkan Rama. "Heh!" teriak Rama, saat ia ingin menyusul mereka berdua ia di salfokkan oleh sesuatu.

....

"Minta minumnya, Bi" Bian memberikan sebotol air putih buat Andre. "Eh, liat Rama gak? kok dia gak nongol nongol ya" tanya Bian "Hah, oh. Gatau, tadi kutinggal sendiri haha" kata Andre "Paling bentar lagi kesini," belum sampe semenit Andre mengatakan itu, mereka berdua melihat sesosok Rama tiba dengan wajah sedih.

"Lu ngapa pake ninggalin guwa si!" kesal Rama ke Andre "Lah," jawab Andre "Udah udah, kamu kenapa dateng nya agak lama?" tanya Bian. Rama mengusap wajahnya kasar, "Lu pada mau tau? aku tadi...

("Puss, meong" panggil Rama pada seekor kucing tersesat "Waduh kucing siapa ini, kok kayak mahal gini. Mayan nih kalo dijual" sesat Rama. Saat ia berniat mengambil kucing itu ia dikejutkan oleh sebuah tangan. "AKH" kagetnya, sontak kucing itu kaget dan kabur lagi. "Siapa lu-" dreg batin Rama "Yah, itu kenapa kucingnya gak ditangkep cepet si?" kata Manda "O-oh, itu kucing mu?" canggung Rama "Iya, kucingku" jawab Manda. Rama menyesal telah mengejutkan kucing itu, tapi seingatnya dan terakhir kali kerumahnya Manda ia tak pernah memiliki hewan peliharaan tapi ini tiba tiba ia mengakui bahwa itu kucing miliknya. "Maaf ya, maksutku maaf karena udah bikin kucingmu kabur lebih jauh. Tapi-" patah patah si Rama ngomong "Aduhh. Kamu bantu aku cari sama nangkep dia dong, nanti Ka Dion marah kalo kucing itu kabur" blup batin Rama "Hah? apa? Dion?" Rama memastikan kembali "Iya! itu kucing hadiah dari Dion buat anniversary kita" wow hatinya sekarang seribu banding seratus kali lipat sakitnya batin Rama)

...gitu deh" kata Rama "Buset, tapi kamu nyariin kucingnya kan?" tanya Andre. Rama mengangguk "Ya, kasian haha" sedih Rama "Ngapain sedih, cuman gitu doang. Eh btw udah jam tujuh, aku pulang dulu ya" ucap Bian "Aku juga, kamu semangat ya move on nya" ujar Andre.

Seminggu setelahnya

"Bi Bi!" panggil seseorang. Bian menoleh kebelakang dan ia menemukan Andre yang memanggilnya barusan. "Napa?" tanya Bian "Aduhhh, aku takut si Rama bakal nerima Manda" katanya "Hah? Kenapa emangnya?" Bian memastikan "Masa kaga tau si, itu si Manda. Dia putus ma Dion woi!" jawabnya.

....

"Rama, maafin aku ya waktu dulu itu." sesal Manda "Gapapa, Man. Aku udah maafin kok.." ucap Rama "Sungguh?" Rama menganggukkan kepalanya "Kalo gitu, aku ambil kata kataku yang dulu. Kalo aku suka sama Dion," ucap Manda "Kenapa?" tanyanya bingung "Karna ternyata, aku suka sama kamu. Dulu aku gak sadar jadi sekarang" ngaku Manda. "Hah?" bloon Rama "Ih," kesal Manda "Bentar. Jadi kamu" pasti Rama "Iya, aku suka sama kamu dan aku mau pacaran sama kamu."

Rama terdiam lama. Otaknya mencoba mencerna kata-kata yang baru saja didengarnya. Manda, yang selama ini ia pikir sudah jatuh cinta pada Dion, kini mengaku menyukai dirinya.

"Aku... aku gak tahu harus bilang apa, Man. Ini semua terlalu mendadak." Manda menggigit bibirnya, merasa sedikit cemas. "Aku tahu, Rama. Aku juga baru menyadarinya. Maaf kalau ini membuatmu bingung. Tapi aku sungguh-sungguh."

Rama menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Tapi Manda, kamu dan Dion..." Manda menggeleng cepat. "Aku udah putus sama Dion. Aku baru tahu kalau dia sebenarnya cowok yang jahat. Aku terlalu buta waktu itu." Rama semakin bingung. "Jahat? Maksud kamu gimana?"

Manda menghela napas, mencoba menjelaskan. "Dia mempermainkan perasaanku, Rama. Dia cuma pacaran sama aku buat pamer ke teman-temannya. Aku baru sadar kalau dia gak benar-benar peduli sama aku. Dan waktu aku tahu itu, aku langsung mutusin dia." Rama terdiam, mencerna apa yang baru saja didengarnya. "Jadi, kamu udah gak sama Dion lagi?"

"Iya, aku udah putus sama dia," tegas Manda. "Dan setelah itu, aku baru sadar kalau aku sebenarnya suka sama kamu. Dulu aku gak sadar, tapi sekarang aku yakin." Rama menarik napas panjang. "Ini semua terlalu banyak untuk aku cerna sekaligus, Man. Aku butuh waktu untuk berpikir. Perasaanku juga campur aduk sekarang." Manda mengangguk, meski sedikit kecewa. "Aku mengerti, Rama. Aku gak mau memaksamu. Aku cuma ingin jujur dengan perasaanku. Ambil waktu yang kamu butuhkan."

Pulang sekolah

Rama berjalan pulang dengan pikiran yang terus bergelayut. Pengakuan Manda mengacaukan hatinya. Meski dia merasa simpati pada Manda, dia juga merasa ada keraguan. Apakah dia benar-benar menyukai Manda, atau apakah dia hanya merasa kasihan?

Setelah beberapa saat merenung, Rama memutuskan untuk mencoba memahami perasaan Manda lebih baik. Dia berpikir, mungkin dengan memulai hubungan dengan Manda, dia bisa mengetahui lebih banyak tentang perasaan dan sikap Manda ketika pacaran. Keputusan ini bukanlah sesuatu yang diambil dengan mudah, tetapi dia merasa ini adalah cara terbaik untuk mendapatkan kejelasan.

Rama mengambil ponselnya dan mengetik pesan singkat kepada Manda. Rama: Hai, Manda. Aku sudah berpikir tentang semua yang kamu katakan. Aku rasa kita bisa mencoba. Aku mau kita pacaran. Tapi aku juga ingin kita jujur satu sama lain dan melihat bagaimana semuanya berjalan. Kamu setuju?

Tak lama kemudian, pesan dari Manda masuk.

Manda: Serius, Rama? Terima kasih! Aku juga ingin mencoba. Aku janji akan jujur dan terbuka sama kamu.

Rama tersenyum kecil. Meski ada keraguan di hatinya, dia merasa ini adalah langkah yang tepat untuk mengetahui perasaannya lebih dalam. Hari-hari berikutnya, Rama dan Manda mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama. Mereka pergi makan bersama, menonton film, dan melakukan berbagai aktivitas yang biasa dilakukan oleh pasangan.


Empat bulan kemudian

Hubungan Rama dan Manda mengalami pasang surut seperti pasangan pada umumnya. Namun, suatu hari, setelah pertengkaran kecil tentang hal sepele, Manda tiba-tiba memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka.

"Rama, aku rasa kita harus putus," kata Manda dengan nada tegas. Rama terkejut. "Hanya karena kita bertengkar tentang hal kecil ini? Kita bisa membicarakannya, Manda." Manda menggeleng. "Aku pikir kita tidak cocok. Pertengkaran kecil ini hanya memperlihatkan bahwa kita tidak bisa bersama." Rama mencoba menahan emosi, merasa keputusan ini terlalu drastis. "Kamu yakin ini keputusan yang tepat? Aku rasa kita bisa mencoba memperbaikinya."

Namun, Manda tetap pada keputusannya. "Maaf, Rama. Aku sudah memikirkannya. Lebih baik kita putus." Rama akhirnya setuju dengan berat hati. "Baiklah, kalau itu yang kamu inginkan."

....

Saat nongkrong sama Bian dan Andre. Rama mendengar kabar mengejutkan dari Bian dan Andre. "Heh, Rama. Kamu tahu gak? Manda balik lagi sama Dion," kata Bian dengan nada prihatin. Rama menatap mereka dengan tatapan tidak percaya. "Serius? Baru tadi kita putus." Andre mengangguk. "Iya, katanya mereka udah jadian lagi. Cepet banget, ya."

Rama merasa campur aduk. Dia merasa dikhianati dan marah, tapi juga merasa lega karena hubungan yang tidak tulus itu akhirnya berakhir. Meski sakit hati, dia berusaha menerima kenyataan itu. Bian dan Andre mencoba menghiburnya. "Tenang, Ram. Mungkin ini yang terbaik. Kamu berhak mendapatkan seseorang yang benar-benar tulus sama kamu," ujar Bian. Andre menambahkan, "Iya, loh. Lagian, kita kan selalu ada buat kamu. Yuk, kita cari kegiatan seru buat ngelupain semuanya."

Rama tersenyum lemah, merasa bersyukur punya teman-teman yang selalu mendukungnya. "Thanks, guys. Aku tahu ini berat, tapi aku akan berusaha move on. Ayo, kita cari kegiatan yang seru." Mereka bertiga kemudian memutuskan untuk menghabiskan hari itu bersama, mencoba mengalihkan pikiran Rama dari kekecewaannya. Meski hati Rama masih terasa sakit, dia tahu bahwa dengan dukungan teman-temannya, dia akan bisa melewati masa sulit ini.

Dua bulan kemudian

Rama sedang berada di rumah Andre bersama Bian. Mereka sedang bermain video game ketika ponsel Rama bergetar, menandakan pesan masuk. Tanpa banyak berpikir, Rama membuka pesan itu dan terkejut melihat nama pengirimnya: Manda.

Manda: "Rama, aku gak tahu harus cerita ke siapa lagi. Aku liat Dion jalan sama adekelas kita. Aku merasa sedih dan bingung banget."

Rama menatap pesan itu dengan campuran perasaan. Dia ingat bagaimana Manda dengan mudah memutuskan hubungan mereka dan kembali kepada Dion. Kini, setelah satu bulan, dia datang kembali dengan masalahnya. Andre dan Bian, yang duduk di sebelah Rama, melihat layar ponselnya dan membaca pesan itu.

"Heh, liat siapa yang ngechat," kata Andre dengan nada sinis. Bian mengangguk. "Iya, Manda. Dia cerita tentang Dion lagi?" Rama menghela napas panjang, merasa bingung harus merespons bagaimana. "Iya, dia bilang Dion jalan sama adekelas kita." Andre mendengus. "Udah jelas-jelas Dion emang gak baik buat dia. Tapi kenapa sekarang dia malah curhat ke kamu?"

Bian, yang biasanya lebih tenang, memberikan pandangannya. "Ram, menurutku ini kesempatan bagus buat kamu jelasin semuanya ke dia. Tentang perasaanmu, dan juga tentang bagaimana kamu gak mau terjebak dalam drama mereka lagi." Rama mengangguk, merasa bahwa Bian mungkin benar. Dia memutuskan untuk merespons Manda dengan jujur, meski dia tahu itu mungkin akan menyakiti perasaannya.

Rama: "Manda, aku ngerti perasaan kamu sekarang. Tapi sebenarnya, aku udah merasa was-was tentang hubungan kita sejak awal. Aku tahu kamu sedang kesulitan, dan aku mau membantu kamu. Tapi sejujurnya, aku merasa seperti aku pacaran sama kamu karena kasihan, bukan karena aku benar-benar mencintaimu. Maaf, tapi aku pikir ini bukan hubungan yang tepat untuk kita berdua. Aku harap kamu bisa menyelesaikan ini dengan cara yang terbaik untuk kamu."

Andre dan Bian mengangguk setuju. "Bagus, Ram. Kamu udah jujur sama dia," kata Andre. Bian menambahkan, "Dan kamu juga ngasih dia ruang untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Itu penting."

Beberapa menit kemudian, ponsel Rama kembali bergetar. Pesan dari Manda masuk.

Manda: "Aku ngerti, Rama. Maaf udah ngeganggu kamu. Makasih udah dengerin aku. Aku akan coba bicara sama Dion."

Rama merasa lega. Meski ada bagian dari dirinya yang masih peduli pada Manda, dia tahu bahwa menjaga jarak adalah hal yang terbaik untuk dirinya sendiri. Dia menaruh ponselnya dan kembali fokus pada permainan bersama Andre dan Bian. "Makasih, guys. Kalian benar-benar teman yang baik," kata Rama dengan senyum. Andre menepuk bahunya. "Kita selalu ada buat lo, Ram." Bian tersenyum. "Ayo, kita lanjut main. Lupakan dulu semua drama itu." Hari itu, Rama merasa lebih ringan. Dengan dukungan teman-temannya, dia tahu bahwa dia bisa melewati semua ini dan menemukan kebahagiaan yang lebih tulus dan jujur di masa depan.

Kini genap satu tahun dari kejadian tersebut dan sekarang berada saat kelulusan

Rama: Kok akhir akhir ini aku mimpiin Manda terus ya
Andre: Bilang aja belum move on, sok sok an bilang move on dari jauh hari sebelum pacaran
Rama: Kan biar dikira udah move on, eh kenyataanya
Andre: Mulutmu busuk
Bian: Tau gitu. Dulu gak usah sok sok an move on dari Manda, sekarang pas Dion dah lulus duluan. Si Dion ngirim surat udangan pertunangan si Manda ma Dion digrup osis
Andre: Hayo Rama. Makin berkalut kamu
Rama: Gak ngurus, aku pergi kesekolah dulu. Jan telat awas klian!

Rama menutup ponselnya dengan perasaan campur aduk. Sedih karena masih terus teringat akan Manda, dan marah karena merasa seperti sudah berusaha untuk melupakan masa lalu tapi tetap saja terhantui oleh kenangan itu. Dia merasa frustrasi dengan dirinya sendiri karena belum bisa benar-benar move on.

"Sialan," gumam Rama sambil menghela napas. Dia tahu dia harus menghadapi kenyataan bahwa perasaannya masih belum sepenuhnya pulih dari hubungannya dengan Manda.

Disekolah

Ketika Rama tiba di gerbang sekolah, dia segera melihat Bian dan Andre berdiri di sana, menunggunya. Wajah mereka terpancar dengan senyum ramah, dan Rama lega melihat kehadiran mereka. 

"Oi, Rama!" sapa Bian dengan antusias. "Andre dan aku menunggumu," tambahnya, sementara Andre mengangguk setuju. Rama tersenyum lega, merasa hangat dengan sambutan dari teman-temannya. "Hai. Makasih udah nunggu." "Mau kita langsung masuk ke dalam?" tawar Andre, menunjuk ke arah gerbang sekolah. Rama mengangguk. "Baik. Mari kita masuk."

....

"Terakhir kali kita pake seragam ini, ya?" ujar Rama sambil tersenyum kepada Bian dan Andre. Bian mengangguk setuju. "Iya, rasanya kek masih baru kemarin masuk sekolahnya." Andre tertawa. "Waktu begitu cepat"

Mereka berjalan bersama menuju aula sekolah, di mana rekan-rekan mereka sudah berkumpul untuk menghadiri acara kelulusan. Rama merasa sedikit tegang namun juga penuh harap, menyadari bahwa ini adalah awal dari babak baru dalam hidupnya.

Sesampainya di aula, mereka menemukan tempat duduk mereka dan menunggu dengan penuh antisipasi. Suasana di aula dipenuhi dengan semangat dan kebahagiaan, serta sedikit nostalgia akan masa-masa yang telah mereka habiskan bersama selama bertahun-tahun.

Ketika acara dimulai, mereka duduk dengan tegang, siap menerima diploma mereka dan melangkah ke masa depan yang baru. Rama, Bian, dan Andre memandang ke depan dengan keyakinan dan harapan, siap untuk mengejar impian mereka dan menghadapi tantangan yang ada di depan.

Setelah acara berlangsung

Setelah acara kelulusan, Andre, Bian, dan Rama masih berdiri di sudut aula, memperhatikan keramaian. Manda dan Dion terlihat sangat romantis, membuat Rama ragu untuk mendekati mereka. "Rama, kamu harus ucapin selamat ke Manda," kata Andre dengan nada mendesak. Rama menggeleng. "Aku gak yakin, Dre. Takut nyesek ngeliat mereka berdua kayak gitu." "Biarin aja, tunggu waktu yang tepat," timpal Bian sambil mencoba menghibur Rama.

Sambil menunggu, mereka bertiga mulai berfoto-foto dan berpura-pura ngevlog untuk mengisi waktu. Mereka tertawa, bercanda, dan sedikit melupakan kegelisahan Rama. Lima menit kemudian, mereka melihat Dion beranjak pergi, meninggalkan Manda sendirian. Andre menepuk bahu Rama. "Tuh, Dion udah pergi. Sekarang waktunya." Sebelum Rama sempat bereaksi, Bian langsung mendorongnya ke arah Manda tanpa aba-aba. Rama tersandung sedikit tetapi berhasil menjaga keseimbangannya, dan kini berdiri hanya beberapa langkah dari Manda.

"Eh," sapanya canggung. "Selamat buat kelulusanmu ya," gadis itu tersenyum ramah. "Makasih, Rama," jawab Manda dengan senyuman. "Kembali," balas Rama. Manda memandangi Rama, merasa ada yang ingin dia katakan dengan serius. "Kamu gak ngumpul sama teman-temanmu yang lain?" tanyanya. "Ini lagi nunggu temen, iya temen hehe," jawab Rama dengan canggung.

"Owh," singkat Manda. "Ada yang salah, kah?" tanya Manda dengan lembut. Rama menggeleng pelan. "Enggak, enggak ada yang salah. Lanjutin ngobrolnya sama temannya, aku di sini sampai temanku dateng," jawabnya dengan canggung. Manda mengangguk, meskipun dia tidak benar-benar percaya bahwa itu semua yang ada di pikiran Rama. "Kamu tahu kamu bisa curhat padaku jika ada masalah, kan?"

Rama tersenyum kecut. "Iya, aku tahu. Terima kasih, Manda." Manda menatap Rama sejenak sebelum kembali ke teman-temannya, masih merasa ada sesuatu yang belum dikatakan. Sementara itu, Andre dan Bian mengamati dari jauh, tersenyum puas dengan keberhasilan mendorong Rama. Mereka tahu bahwa meskipun hanya percakapan singkat, itu adalah langkah penting bagi Rama untuk maju.

END


-qfs







Monday, 13 May 2024

Kunjungan SMK Telkom


Pagi ini (5/13/2024) SMPK Santa Maria 2 Malang kedatangan tamu dari SMK Telkom Malang. Mereka datang untuk menjelaskan sekilas mengenai website dan website konseling. Mereka menjelaskan bahwa konseling itu penting, dan kita tidak perlu takut untuk berbagi cerita.

Pertama-tama, mereka memperkenalkan diri kepada para siswa. Mereka juga menjelaskan alasan dan tujuan mereka datang ke sekolah. Lalu, mereka menjelaskan tentang apa itu website, apa itu mentor, dan lain sebagainya. Para siswa SMK tersebut juga menjelaskan bahwa konseling dan mentoring dibutuhkan oleh banyak orang, namun tidak didapat oleh orang-orang itu, karena takut.

Rasa takut ini muncul karena insecurity. Hal ini membuat mereka takut dan sedih, serta kurang percaya diri dengan apa yang mereka miliki. Namun, solusinya ditemukan oleh mereka. Mereka berpendapat bahwa dengan website konseling, kita bisa berbagi dan bercerita, tanpa rasa takut lagi.

Kemudian, juga mereka menjelaskan sekilas tentang code dan coding, serta medianya. 

Lalu, dibukalah sesi tanya-jawab untuk para siswa Panderman. Banyak pertanyaan unik yang dilontarkan siswa. Dan akhirnya, mereka meminta para siswa untuk mengisi forms untuk kritik dan saran.

Sangat menyenangkan kunjungan dari mereka. Pastinya juga bermanfaat dan informatif untuk siswa dan mereka sendiri, dan terlebih, menjadi pengalaman baru yang berkesan.





Neworld (𝗪𝗔𝗥𝗡𝗜𝗡𝗚 𝗟𝗢𝗡𝗚 𝗧𝗘𝗞𝗦)



Daniel, yap itu nama salah satu mahasiswa semester akhir jurusan sastra. Kali ini ia ingin menyelesaikan skripsinya, lalu saat ia bertanya pada dosen "Tema apa yang akan di ambil untuk novelnya?" sang dosen menjawab dengan santai "Fantasi". 
.·:¨¨ ≈☆≈ ¨¨:·.

"Kan udah disaranin masuk jurusan teknik aja daripada sastra, elunya ngeyel" ejek David "Diem apa kuhantam!" emosi Daniel. Pesanan bakso dua porsi sudah menanti mereka berdua di meja dengan es teh sebagai penghilang dehidrasi. "Menu baru disini?" tanya Daniel pada temannya "Ya, baru ini," jawabnya.
.·:¨¨ ≈☆≈ ¨¨:·.

Daniel duduk di bangku apartemennya, laptop terbuka di depannya, dan secangkir kopi hangat menyala di sampingnya. Dia memikirkan tema fantasi untuk novelnya, mencatat ide-ide yang muncul di kepala. Daniel merasa sedikit bingung. Ide-ide untuk tema fantasi berputar di kepalanya, tapi dia merasa sulit untuk memilih satu yang tepat. Dia mencoba untuk fokus dan mengingat apa yang membuatnya tertarik pada genre fantasi.

ting..ting...

Dosen 
Para Mahasiswa kelas saya, tenggat waktu pengerjaan novel aka skripsi dikumpulkan paling lambat satu minggu dari hari ini.

Daniel merasa sedikit tertegun saat menerima pesan dari dosen tentang tenggat waktu pengerjaan skripsinya. Satu minggu! Itu terasa seperti waktu yang sangat singkat. Dia merasa semakin tertekan untuk menyelesaikan novel fantasi yang menjadi tema skripsinya.

Namun, dia juga merasa bahwa ini adalah dorongan yang dia butuhkan untuk fokus sepenuhnya pada penyelesaian karyanya. Dengan hati yang berdebar, dia memutuskan untuk merangkul tantangan ini dengan tekad yang baru. Dia mempercepat tempo pikirannya, mencoba menangkap setiap ide yang muncul dan menuangkannya ke dalam kata-kata dengan cepat.

Tanpa menunggu lebih lama, Daniel kembali membenamkan dirinya dalam pekerjaannya, dengan harapan bahwa dia akan mampu menyelesaikan skripsinya tepat waktu dan dengan hasil yang memuaskan.
.·:¨¨ ≈☆≈ ¨¨:·.

Malam telah tiba, dan Daniel mulai merasa sangat ngantuk. Sebelum dia benar-benar terlelap, dia memutuskan untuk berdoa. Dia berdoa agar skripsinya bisa menjadi yang terbaik di antara yang lain, dan dia berharap bisa mendalami karakter-karakternya dengan baik.

Setelah berdoa, Daniel merasa lebih tenang. Dalam keheningan malam, dia meraih bantalnya dan memejamkan mata. Pikirannya masih terhanyut dalam dunia imajinasinya, tetapi tubuhnya merasa lelah dan membutuhkan istirahat.

Dengan perlahan, Daniel tenggelam dalam alam mimpi, di mana petualangan dan keajaiban menunggunya, serta harapan untuk mewujudkan impian akademiknya.

.·:¨¨ ≈☆≈ ¨¨:·.

Daniel merasa terganggu dengan angin yang menerpa dirinya, membuatnya terjaga dari tidurnya yang nyenyak. Ketika ia membuka mata, ia dikejutkan dengan pemandangan yang tidak biasa: dia berada di tengah padang rumput yang luas.

Dengan penuh kebingungan, Daniel bangkit dari tidurnya dan memandang sekeliling. Langit gelap terhampar di atasnya, dan bintang-bintang berkelap-kelip di kejauhan. Tidak ada tanda-tanda kehidupan manusia di sekitarnya, hanya sunyi dan angin yang berdesir lembut. Daniel meraba-raba kantongnya dan menyadari bahwa ponselnya tidak ada di sana. Dia merasa semakin cemas. Bagaimana dia bisa tiba-tiba berada di sini? Apakah ini mimpi atau nyata?

bruk..

Daniel tersandung dan jatuh keras ke tanah setelah menabrak sesuatu yang tidak terlihat di kegelapan. Ketika ia menoleh ke arah itu, ia dikejutkan dengan pemandangan yang benar-benar luar biasa: seorang manusia dengan telinga yang berbentuk seperti telinga kucing sedang berdiri di hadapannya.

Ia takut dengan makluk itu, berbentuk layak manusia namun berbeda. "Maafkan aku! aku gak bermaksud menabrak, jangan makan aku!" gelisah Daniel. Makhluk itu menatap Daniel dengan keheranan, lalu tiba-tiba tertawa kencang. "Hei! Ayolah, aku bukan pemakan manusia, apakah aku terlihat semenakutkan itu?" katanya dengan nada yang ramah.
Wajah makluk itu berubah serius, dan kecemasan yang tadi muncul kembali menghampiri Daniel. Dia merasa jantungnya berdebar kencang, tidak yakin apa yang akan terjadi selanjutnya. "Apakah kau tersesat? Mau kubantu?" tanya nya. "Ya, aku benar-benar tersesat. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa berada di sini," jawab Daniel dengan suara gemetar. Amara mengangguk dengan penuh pengertian. "Jangan khawatir, aku akan membantumu. Ikutilah aku, kita akan mencari jalan keluar dari sini bersama-sama." Dengan hati yang sedikit lebih tenang, Daniel mengikuti makluk itu sambil berharap bahwa dirinya akan kembali ke apartermennya.

.·:¨¨ ≈☆≈ ¨¨:·.

Makhluk itu berjalan di atas akar pohon yang besar, sementara Daniel berjalan di jalan yang seharusnya. "Ehm, anu," ragu Daniel. "Apa?" sahut makhluk itu, menoleh ke arah Daniel dengan keingintahuan. Makin ragu, Daniel semakin ingin tahu. "Siapa namamu? Seharusnya kamu punya nama kan?" akhirnya Daniel berhasil menanyakannya.

"Oh, cuma nanya nama doang kok sulit," Makhluk itu berbalik badan lalu meloncat ke arah Daniel. "Namaku Zergas, biasa dipanggil oleh makhluk disini Gas Alam." Daniel mendengarkan tuturan Zergas tentang dirinya yang biasa dipanggil "Gas Alam" dan berusaha menahan tawa. "Gas alam? Yang bener aja!" seru Daniel.

"Kenapa emangnya? Aneh?" jawab Zergas dengan alis yang bersatu, sedikit tersinggung dengan reaksi Daniel. Daniel mencoba menahan tawanya yang hampir pecah. "Maaf, bukan itu maksudku. Itu hanya terdengar unik, itu saja," kata Daniel sambil berusaha menjelaskan, berharap tidak menyinggung perasaan Zergas. Zergas mengangguk, alisnya kembali bergerak ke posisi semula. "Ah, mengerti. Tidak apa-apa," ucapnya dengan nada yang sedikit lebih ringan.

Tiba-tiba, seekor serigala muncul di depan Zergas. "Hai, Elard," sapanya ramah. Namun, tiba-tiba serigala itu berubah menjadi manusia, dengan sepasang kuping di kepalanya.

"Kau membawa siapa? Kok beda gitu, dia jenisnya apa?" tanya manusia serigala yang dipanggil Elard. Daniel terkejut parah, hampir saja pingsan, tapi dia berhasil menahannya. Zergas menjawab dengan tenang, "Ini adalah Daniel, seorang manusia. Dia tersesat disini terus aku bantu dia mencari jalan pulang." Elard menatap Daniel dengan tajam, mencoba memahami kehadiran manusia di tempat tersebut. "Hmm, manusia, ya? Ini benar-benar menarik. Jangan biarkan dia membuat masalah, Zergas," ucap Elard dengan nada penekanan.

Zergas mengajak Daniel untuk melanjutkan perjalanan, namun yang membuat Daniel merasa tidak nyaman adalah Elard, manusia serigala itu, yang terus mengikuti mereka dengan moncongnya yang dekat dengan Daniel. Dengan hati yang berdebar, Daniel mencoba untuk tetap tenang dan fokus pada langkah-langkahnya. Namun, kehadiran Elard yang terus mengikutinya membuatnya merasa semakin tegang.

"Zergas, apakah kita bisa berbicara sebentar?" bisik Daniel kepada Zergas, berusaha untuk tidak menarik perhatian Elard. Zergas mengangguk, dan mereka berdua berhenti sejenak. Daniel berbicara dengan pelan, "Aku gak nyaman sama Elard yang terus ngikutin kita. Apa kamu bisa memberitahunya untuk memberi sedikit jarak?" Zergas menatap Daniel. "Tentu tidak, beritau dia sendiri, kau memiliki mulut bukan?" Daniel merasa agak terkejut dengan tanggapan Zergas yang agak tegas, tetapi dia memahami bahwa mungkin dia harus berbicara langsung dengan Elard. Dengan sedikit keberanian, Daniel memutuskan untuk menghadapi situasi ini.
Dia menghela nafas dan memutar tubuhnya ke arah Elard yang berada di dekatnya. "Elard, maaf mengganggumu, tapi aku merasa agak tidak nyaman dengan moncongmu yang terlalu dekat denganku. Bisakah kamu memberi sedikit jarak?" Elard menatap Daniel dengan tatapan tajam, tetapi setelah beberapa saat, ekspresinya menjadi lebih lembut. "Maafkan aku, aku tidak bermaksud membuatmu merasa tidak nyaman," ucapnya dengan suara yang hangat. "Aku akan memberikan sedikit jarak."
.·:¨¨ ≈☆≈ ¨¨:·.

Daniel tetap berjalan bersama Zergas, mencari jalan keluar dari Hutan asing itu Namun, tidak lupa bahwa Elard masih mengikuti mereka dari belakang. "Pulang dulu, ya, Gas Alam," seru Elard dari belakang Daniel dan Zergas, memanggil Zergas. Zergas berhenti sejenak dan menoleh ke arah Elard dengan ekspresi sedikit kecewa. "Baiklah, Elard. Jangan berbuat nekat di sini, ya. Ayo, kita lanjutkan perjalanan," ucapnya sambil mengajak Daniel untuk melanjutkan. Daniel melihat Elard berbalik dan meninggalkan mereka, merasa sedikit lega bahwa kehadiran Elard tidak lagi mengganggu perjalanan mereka. Dia berharap bahwa Elard akan baik-baik saja saat kembali ke tempatnya sendiri.

Daniel berhenti di tempat, merasa kebingungan. "Gas, sebenernya aku ada di mana? Kok banyak makhluk-makhluk siluman gitu?" tanyanya dengan rasa ingin tahu. Zergas berbalik dan menatap Daniel dengan serius. "Panjang ceritanya, aku adalah wakil ketua di sini. Jadi, kalau ada yang nakal, omongin aja pake namaku atau pake nama Jad," jawab Zergas dengan nada yang tegas. Daniel mengangguk, mencoba memahami situasi yang sedang dihadapinya.

Daniel menanyakan siapa Jad pada Zergas, dan Zergas menjawab dengan serius, "Itu ketuanya di sini, atau apa ya bahasanya, raja! Ya, dia jadi orang yang paling ditakuti di sini, meskipun dia berwujud rusa. Tapi, dia adalah yang paling tua dan paling dihormati di antara kami." 

Daniel merasa terkesan dengan penjelasan Zergas tentang Jad. "Dia pasti orang yang hebat," kata Daniel dengan penuh kagum. "Semoga kita tidak bertemu langsung dengannya, ya."  Zergas mengangguk setuju. "Benar, kita harus berhati-hati. Sekarang, mari kita lanjutkan perjalanan kita, siapa tahu kita bisa menemukan jalan keluar dari hutan ini." 

.·:¨¨ ≈☆≈ ¨¨:·.

Zergas merasa angin berdesis seperti bisikan mendarat di telinganya. Dia menghentikan langkahnya sejenak, mendengarkan dengan serius. Suara angin terasa seperti pesan dari alam, membawa kabar yang mungkin penting. Daniel, yang berada di samping Zergas, melihat ekspresi serius di wajahnya. "Ada apa, Gas?" tanyanya dengan penasaran. Zergas mengangguk perlahan. "Angin membawa pesan. Ada sesuatu yang perlu kita perhatikan," jawabnya dengan nada khawatir.

Suara langkah rusa terdengar di sekitar mereka, menyebabkan ketegangan semakin terasa di udara. "Gas Alam, kau membawa siapa itu?" ucap seseorang dari belakang. Zergas mengangkat kepalanya dengan tenang, menatap ke arah suara yang datang. "Ini Daniel, seorang manusia yang tersesat di Hutan ini. Aku membantunya mencari jalan keluar," jawabnya dengan suara yang tenang namun penuh keyakinan.

Daniel menelan ludah, merasa tegang saat mendengar suara tersebut. Dia berdiri di samping Zergas, siap untuk menghadapi siapapun yang datang. Seseorang muncul dari bayangan, dan Daniel melihat seorang rusa yang megah berdiri di hadapannya, dipenuhi dengan aura kekuatan dan kebijaksanaan. Itu pasti Jad, sang raja yang mereka bicarakan sebelumnya.

Sosok rusa itu mendekat ke arah Daniel, kemudian berubah menjadi manusia tanpa adanya telinga atau tanduk di kepalanya, persis seperti manusia asli. "Kau datang dari mana, manusia? Maksudku, Daniel," tanyanya.

Daniel merasa tegang ketika dia ditanyai langsung oleh sosok yang jelas merupakan Jad, raja Hutan yang diceritakan Zergas. "Aku tersesat di sini. Awalnya, aku sedang tidur di kamar apartemenku, dan saat aku bangun, tiba-tiba aku sudah ada di sini," jawab Daniel dengan suara yang agak terbata-bata, ragu-ragu tentang apa yang harus dia katakan.

Jad menatapnya dengan tatapan tajam, seolah-olah sedang meneliti setiap kata yang keluar dari mulut Daniel. "Tersesat, begitu?" ucapnya dengan nada yang dipenuhi dengan pertimbangan. "Itu adalah peristiwa yang luar biasa. Namun, kau telah berada di sini sekarang, di dunia ini. Jadi mari kita rayakan, benar bukan Gas alam." Daniel dan Zergas mengangguk sebagai jawabannya.

.·:¨¨ ≈☆≈ ¨¨:·.

Daniel merasa sungguh ingin pulang, berbaring di kamarnya dengan AC yang nyala, membuat udara menjadi dingin dan nyaman. Namun, kenyataannya sangat berbeda. Dia tidak dapat mengendalikan situasi, terjebak dalam sebuah perayaan penyambutan yang diadakan oleh Jad, sang raja Hutan Mistik.

Dia merasa agak terjebak dalam situasi yang tidak diinginkannya. Meskipun penasaran dengan perayaan ini, rasa ingin pulang terus mengganggunya. Namun, Daniel juga merasa bahwa dia harus memanfaatkan kesempatan ini untuk memahami lebih banyak tentang dunia Fantasia ini.

"Hey, manusia, kudengar namamu Daniel, ya?" tanya seseorang yang memiliki telinga rubah di atasnya. Daniel mengangguk, "Oke, kenalin, namaku Sun!" ujarnya. Daniel merasa sedikit terkejut dengan kehadiran Sun yang ramah. "Senang bertemu denganmu, Sun," jawabnya dengan senyum kecil. Sun tersenyum hangat. "Sama-sama, Daniel. Jangan ragu untuk bertanya jika kamu butuh bantuan di sini, ya. Kami di sini saling membantu," katanya dengan suara ramah.

Melihat makhluk dengan telinga rubah di kepalanya membuat Daniel teringat pada kakaknya, Nicholas. Nicholas sangat menyukai rubah dan memiliki sifat yang ceria, mirip dengan Sun. Mereka berdua sering menghabiskan waktu bersama, bermain dan menggali petualangan di mana pun mereka berada. Daniel tersenyum melihat Sun, merasa hangat di hatinya saat mengenang kenangan indah bersama kakaknya. Meskipun mereka berada di dunia Fantasia yang begitu berbeda, kehadiran Sun memberinya rasa kenyamanan dan kehangatan yang membuatnya merindukan kebersamaan dengan Nicholas.

"Dua makhluk yang ceria dan penuh semangat," gumam Daniel dalam hati, merasa terhibur oleh kesamaan Sun dengan kakaknya. Dia berharap suatu hari bisa berbagi cerita tentang dunia Fantasi ini dengan Nicholas, membuatnya merasa dekat dengan kakaknya meskipun berada di tempat yang jauh. Sun membubarkan lamunan Daniel yang sejak tadi terpesona melihatnya. Dengan ekornya yang bergerak lincah dan tatapan mata yang penuh keceriaan, Sun mengajak Daniel untuk bergabung kembali dengan suasana perayaan.

Daniel tersenyum, merasa terhibur oleh kehadiran Sun yang riang. Dia berterima kasih pada Sun karena telah memecahkan lamunannya, mengalihkan perhatiannya kembali ke lingkungan sekitarnya. "Terima kasih, Sun," ucap Daniel dengan ramah. "Aku harus ikut serta dalam perayaan ini. Ayo kita bergabung!" seru Sun.
.·:¨¨ ≈☆≈ ¨¨:·.

Daniel melihat Zergas dari kejauhan, dikelilingi oleh makhluk-makhluk termasuk Jad, Elard, dan yang lainnya. Dia menghampiri mereka, tentu saja dengan Sun yang riang di sisinya. "Hai, semua!" seru Sun dengan ceria, sementara semua makhluk menyambut mereka dengan hangat. Daniel merasa agak canggung, tetapi tanpa disengaja, dia melihat makhluk lucu yang sedang digendong oleh Elard dan Jad.

"Zergas itu apa?" tanya Daniel, tertarik pada makhluk yang digendong. "Oh itu, itu anak serigala tapi udah hybrid, campuran anjing liar dan serigala," jawab Zergas. "Apakah itu anak Elard?" tanya Daniel, menunjuk ke arah makhluk yang digendong oleh Elard. Zergas terkejut dan kemudian tertawa kecil. "Bukan lah, Elard aja masih kecil, mana mungkin itu anaknya," kata Zergas sambil menyelesaikan tawanya. "Di sini, makhluk dibedakan menjadi dua. Salah satunya berbentuk hewan namun bisa berubah menjadi manusia. Dan yang kedua, tetap berbentuk hewan dan biasanya dijadikan prajurit, pengawal, atau peliharaan. Jika dipikir secara rasional, memang cukup sulit untuk dimengerti oleh otak manusia."

"Naka!" teriak Sun, suara riangnya memecah keramaian, dan semua menoleh ke arahnya, termasuk Daniel. "Apa yang terjadi, Sun?" tanya Jad, raja Hutan Mistik, dengan rasa ingin tahu. "Selalu saja dia menggunakan wujud aslinya untuk menjahiliku tanpa henti!" jawab Sun dengan nada kesal. "Aish, berhenti, Naka!" kata Sun dengan wajah yang memancarkan ketidaksenangan.

Naka, makhluk yang dipanggil, merubah wujudnya dari kucing oranye menjadi manusia dengan kuping di kepalanya. Tapi bukannya menunjukkan penyesalan, Naka justru tertawa puas. Daniel melihat adegan ini dengan campuran antara kebingungan dan penasaran. Dia bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi antara Sun dan Naka, dan mengapa Naka tampak begitu senang dengan tingkahnya. Namun, dia memilih untuk tidak bertanya, membiarkan mereka menyelesaikan masalah mereka sendiri.

Jad menahan tawanya saat melihat wajah kesal dari Sun. "Dia masih anak kecil, Sun. Tidak apa-apa," seru Elard, mencoba meredakan ketegangan. Sun menghela nafas panjang, mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri. "Tapi dia selalu saja..." katanya, sebelum terdiam, mengakui bahwa Naka memang hanya seorang anak kecil.

.·:¨¨ ≈☆≈ ¨¨:·.

Keesokan harinya, Daniel dan Zergas melanjutkan perjalanan mereka. Namun, tiba-tiba Zergas mencegat Daniel yang sudah berada di depannya. "Apa kau pernah naik kucing?" tanya Zergas dengan serius. Daniel sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. "Hah? Naik kucing? Emang ada?" balas Daniel, memperlihatkan kebingungannya.

....

Saat itu, Zergas berubah menjadi kucing besar yang bisa dinaiki. Meskipun terkejut, Daniel masih merasa ragu. "Jadi, ini maksudmu kucing yang bisa dinaiki gitu?" kaget Daniel "Iya, naiklah," ucap Zergas sambil mengangguk. "Ayolah, Daniel. Aku tahu ini terasa aneh, tapi aku akan menjaga agar kamu tetap aman," kata Zergas dengan lembut, mencoba meyakinkan Daniel. Setelah beberapa saat ragu, Daniel memutuskan untuk melangkah maju. Dengan hati yang berdebar, dia naik ke punggung Zergas, maksutnya kucing besar ini.

Saat diperjalanan, Daniel merasa ingin bertanya sesuatu, "Kamu gak capek gendong aku terus?" tanyanya. Zergas menggeleng, "Gak, orang kalo aku udah jadi begini gak ngerasain apa-apa, gapapa." 

Hening, tiba-tiba "Udah nyampe," seru Zergas. Kini mereka berada di depan gerbang hutan yang sangat rindang, dihiasi dengan pepohonan besar dan tanaman berduri. Daniel melihat sekeliling dengan penuh kagum, terpesona oleh keindahan alam di sekitarnya. Dia merasa sedikit terkejut bahwa mereka telah tiba di tujuan mereka dengan begitu cepat. "Wow, betapa indahnya tempat ini," ucap Daniel dengan suara terkesan. Zergas mengangguk, "Ya, ini adalah Hutan Selatan, tempat yang paling cocok untuk mencari apa yang kamu butuhkan untuk perjalananmu selanjutnya."

"Kalau yang tadi? tempat kita bertemu namanya hutan apa?" tanyanya "Oh, kalau itu Hutan Barat, maka nya panas banget tadi pagi" jawab Zergas "Oh, hampir aja lupa, disini bahaya nya banget karena ada sarang ular banyak tapi plusnya disini apapun yang kamu cari bakal ketemu termasuk jalan pulangmu" lanjut zergas.

....

"Gas, boleh bawa bunga ini gak?" tanya Daniel sambi memperlihatkan setangkai bunga berwarna putih bercampur biru, "Silakan," jawab Zergas "Makasi." 

.·:¨¨ ≈☆≈ ¨¨:·.



Thursday, 2 May 2024

myth during the crescent moon (𝗪𝗔𝗥𝗡𝗜𝗡𝗚 𝗟𝗢𝗡𝗚 𝗧𝗘𝗞𝗦)


Tangisan bayi menggema keras di seluruh ruangan. Sudah sejak dua jam lalu bayi itu selalu menangis tiada hentinya. Namun bayi itu tiba-tiba tidak menangis kembali. Entah apa yang ia lihat. Seseorang masuk ke dalam ruangan tersebut dan tak lupa pandangan wajahnya melihatkan kerutan di bagian dahi. "Raja, kelompok tabib di kerajaan sudah berusaha sekuat mungkin. Dan memang seperti nya pangeran memang terkena kutukannya," orang yang di panggil Raja itu hanya dapat memijat dahinya "Panggilkan seluruh tabib di dunia untuk menyembuhkan kutukkannya, yang bisa menyembuhkannya akan mendapatkan upah." jelas Raja, "Tapi- baik Raja."

︶꒦꒷♡꒷꒦︶

Beberapa tahun telah berlalu. Kabar tentang kutukan sang pangeran kerajaan menyebar luas ke seluruh daerah dan beberapa kerajaan. Bahkan saat pangeran ingin masuk ke sekolah, dan ia ditolak mentah mentah. ''Pangeran Jaeyun selalu ditolak dimana mana Tuan Raja'' keluh salah satu pelayan yang membimbing Jaeyun ''Ini sudah ke 5x nya ia ditolak mentah mentah,'' Raja memijat dahi nya ''Tidak usah sekolahkan anak kutukan itu, lebih baik di sekolahkan di kerajaan saja'' lanjutnya, ''Baik Tuan'' lalu pelayan itu membungkukkan badannya dan pergi keluar dari ruangan.

''Tuan Raja sudah memutuskan untuk menyekolahkan pangeran di kerajaan saja'' ucap pelayan pribadinya, tak ada jawaban dari sang pangeran, "Pangeran? jika kau tidak suka, bisa katakan saja pada Raja'' lanjut pelayan itu. ''Tak usah Jungwon, aku akan menerimanya'' ucap Jaeyun sambi memegang sebuah patitur lagu. Jungwon aka pelayan pribadi Jaeyun menatap patitur lagu yang dipegang oleh Tuannya itu. ''Pangeran tak ingin mencoba memainkan biola seperti dahulu?" tanya Jungwon, Jaeyun mengelengkan kepala lemas ''Aku tak tertarik lagi,'' ia menghembuskan nafas panjang ''Tolong bawakan aku buah Jungwon, terima kasih'' lanjutnya, ''Baik, saya ijin keluar'' Jungwon membungkukkan badannya lalu segera pergi.
︶꒦꒷♡꒷꒦︶

Jungwon keluar dari ruangan Jaeyun dengan langkah cepat, menuju dapur untuk mengambil buah yang diminta sang pangeran. Di dalam dapur, aroma rempah-rempah yang sedap memenuhi udara. Jungwon segera mengambil beberapa buah yang tersedia, memilih yang terbaik untuk Jaeyun. Kemudian, ia menatap keluar jendela, memperhatikan langit yang mulai senja.

Setelah mengumpulkan buah, Jungwon melangkah kembali menuju ruangan Jaeyun dengan hati yang berat. Ia merasa sedih melihat pangeran yang terisolasi seperti itu. Namun, sebagai seorang pelayan, ia harus menjalankan tugasnya dengan baik.

Ketika Jungwon tiba di ruangan Jaeyun, ia melihat pangeran duduk sendirian, terdiam di kursi dengan tatapan kosong. Tanpa mengganggu, Jungwon meletakkan mangkuk buah di atas meja kecil di depan Jaeyun. "Ini buah yang kau minta, Pangeran," ucap Jungwon dengan suara lembut.

Jaeyun menoleh perlahan ke arah Jungwon, memberikan senyuman kecil sebagai tanda terima kasih. "Terima kasih, Jungwon. Kamu selalu peduli padaku," kata Jaeyun dengan suara pelan. Jungwon tersenyum hangat. "Tidak ada yang perlu kau ucapkan, Pangeran. Aku hanya menjalankan tugasku sebagai pelayanmu dengan sepenuh hati," jawabnya sambil membungkukkan badan.

"Bagaimana dengan buku-buku yang aku minta kemarin, Jungwon?" tanya Jaeyun tiba-tiba. Jungwon mengangguk. "Sudah aku siapkan di meja belajarmu, Pangeran. Apakah kau ingin aku membaca bersamamu?" Jaeyun menggeleng lembut. "Tidak usah, Jungwon. Aku ingin merenung sendiri sebentar. Terima kasih atas perhatianmu."

Jungwon mengangguk mengerti, lalu meninggalkan Jaeyun sendirian di dalam ruangan, meninggalkannya dengan buah dan buku-buku yang telah disiapkan. Sejenak, ruangan itu dipenuhi oleh kesunyian, hanya suara gemerisik angin yang menyusup masuk dari jendela terbuka. Jaeyun memandang keluar, berpikir tentang masa depannya yang penuh dengan kejutan.

︶꒦꒷♡꒷꒦︶

Malam itu, meja makan di istana penuh dengan hidangan mewah yang disajikan dengan indah. Raja duduk di ujung meja dengan wajah yang serius, kadang-kadang melemparkan pandangan tajam ke arah Jaeyun. Di sampingnya, Ratu duduk dengan penuh kehangatan, matanya penuh dengan kelembutan ketika menatap Jaeyun.

Jaeyun duduk di antara kedua orangtuanya, mencoba mempertahankan senyumnya meskipun atmosfer di sekitarnya terasa tegang. Jungwon, setia di sampingnya, memberikan dukungan dengan kehadirannya yang tenang. Ratu memecah keheningan dengan suara lembutnya. "Jaeyun, bagaimana kabarmu hari ini?"

Jaeyun tersenyum pada bundanya dengan hangat. "Hari ini menyenangkan, Bunda. Jungwon mengajariku tentang sejarah kerajaan dan para leluhur kita." Raja mengangkat alisnya dengan skeptis. "Apakah belajar itu benar-benar akan membantumu, Jaeyun? Atau kau hanya menghabiskan waktu dengan sia-sia?"

Jaeyun menahan kekecewaan di wajahnya, tetapi tetap menjaga sikap hormat. "Ayah, Jaeyun yakin bahwa pengetahuan tentang sejarah dan leluhur kita akan menjadi aset yang berharga bagi saya suatu hari nanti." Ratu menyela dengan lembut, "Tentu saja, Jaeyun. Dan kami akan selalu mendukungmu dalam usahamu untuk belajar dan berkembang."

︶꒦꒷♡꒷꒦︶

Setelah makan malam selesai, Jaeyun dan Jungwon meninggalkan ruang makan istana menuju kamar Jaeyun untuk beristirahat. Mereka berjalan melalui lorong-lorong yang terang benderang oleh lampu-lampu kristal yang menggantung di langit-langit istana, langkah mereka terdengar di lantai marmer yang bersih.

"Bagaimana perasaanmu hari ini, Pangeran?" tanya Jungwon dengan lembut, menunjukkan perhatian yang tulus pada tuannya. Jaeyun menghela nafas, memikirkan semua yang telah terjadi hari ini. "Hari ini cukup berat, Jungwon. Tetapi aku merasa lega memiliki dirimu di sampingku," jawabnya dengan jujur, senyumnya mengembang sedikit.

Jungwon tersenyum hangat. "Saya selalu di sini untukmu, Pangeran. Apapun yang terjadi, saya akan selalu mendukungmu," katanya dengan penuh keyakinan. Mereka melanjutkan perjalanan mereka melalui lorong-lorong yang panjang, kadang-kadang bertemu dengan beberapa pelayan istana yang sibuk dengan tugas mereka masing-masing. Tetapi pada saat itu, Jaeyun dan Jungwon terasa seperti dunia mereka sendiri, tempat mereka bisa berbagi beban dan kekhawatiran mereka tanpa takut dihakimi oleh pandangan orang lain.

Akhirnya, mereka mencapai kamar Jaeyun, sebuah ruangan yang luas dan megah dengan hiasan-hiasan yang mewah di setiap sudutnya. Jaeyun melemparkan dirinya ke atas tempat tidur dengan lelah, merasa lega bahwa ia akhirnya bisa beristirahat setelah hari yang melelahkan. Jungwon membantunya melepas jubahnya dan menyiapkan segala sesuatu untuk tidurnya. "Pangeran, apakah ada yang bisa saya lakukan untuk membuat Anda lebih nyaman?" tanya Jungwon dengan perhatian.

Jaeyun tersenyum lembut. "Tidak, Jungwon. Kamu sudah melakukan lebih dari cukup. Terima kasih atas segalanya," jawabnya, matanya mulai terpejam karena kelelahan. Jungwon tersenyum puas, merasa lega bahwa ia telah membantu meringankan beban Jaeyun setidaknya untuk saat ini. Dengan perasaan lega, Jungwon meninggalkan kamar Jaeyun, meninggalkannya dalam kedamaian untuk tidur yang nyenyak, sementara ia sendiri kembali ke tugasnya sebagai pelayan setia sang pangeran.

︶꒦꒷♡꒷꒦︶

Ratu aka Bunda Jaeyun memasuki kamar Jaeyun dengan lembut, hatinya penuh kasih pada putranya. Dengan lembut, ia membuka tirai, membiarkan cahaya pagi masuk ke dalam ruangan yang masih dipenuhi oleh suasana tidur yang tenang.

Jaeyun terbangun dengan perlahan, matanya terbuka perlahan saat terkena sinar matahari yang menyilaukan. Ia tersenyum melihat wajah ibunya yang lembut. "Selamat pagi, bunda," sapanya dengan lembut. Ratu tersenyum hangat. "Selamat pagi, Jaeyun. Sudah waktunya untuk bangun dan memulai hari dengan semangat." Ia membantu Jaeyun bangkit dari tempat tidur.

"Jungwon akan segera datang kemari dengan membawakanmu sarapan dan jubah untuk digunakan nanti saat pertemuan antar kerajaan" ucap Ratu, Jaeyun hanya menganggukkan kepala nya sebagai jawaban. 
︶꒦꒷♡꒷꒦︶

Jungwon memasuki kamar Jaeyun dengan hati-hati, membawa jubah dan diikuti oleh meja kecil yang penuh dengan sarapan yang lezat. Ia meletakkan jubah di atas kursi dan meja sarapan di depan tempat tidur Jaeyun dengan lembut, memastikan semuanya tersusun dengan rapi. "Dihidangkan dengan hangat, seperti yang Pangeranku sukai," ucap Jungwon dengan lembut sambil tersenyum pada Jaeyun.

Jaeyun tersenyum, terima kasih pada Jungwon atas perhatiannya yang tulus. "Terima kasih, Jungwon. Kamu selalu tahu apa yang aku butuhkan," kata Jaeyun dengan penuh penghargaan. Jungwon membungkukkan badannya dengan hormat. "Ini adalah tugas saya untuk memastikan kenyamanan dan kebahagiaan Pengeranku," jawabnya dengan rendah hati. Jaeyun duduk di tempat tidur, merasakan hangatnya jubah yang dibawakan oleh Jungwon. Ia mulai menikmati sarapan paginya dengan lahap, senyumnya tidak pernah lepas dari wajahnya.

︶꒦꒷♡꒷꒦︶

Saat pertemuan antar anggota kerajaan dimulai, Jaeyun dan Ratu bergabung dengan Raja di ruang pertemuan istana. Mereka duduk di sebelah Raja, siap mendengarkan pembahasan yang akan dilakukan. Anggota kerajaan lainnya mulai datang satu per satu, mereka duduk di sekitar meja bundar yang besar, siap untuk memulai diskusi. Suasana ruangan menjadi serius, semua anggota kerajaan terlihat fokus pada masalah yang akan dibahas.

Raja, sebagai pemimpin kerajaan, memimpin diskusi dengan memberikan arahan dan petunjuk kepada anggota kerajaan lainnya. Ia juga membuka ruang bagi anggota kerajaan lainnya untuk berbicara dan menyampaikan ide mereka. Jaeyun dan Ratu, meskipun bukan anggota kerajaan yang memiliki kekuasaan politik formal, juga memiliki peran penting dalam pertemuan tersebut. Mereka dapat memberikan sudut pandang unik mereka sebagai anggota keluarga kerajaan dan mungkin memiliki wawasan yang berbeda terkait dengan isu-isu tertentu.

︶꒦꒷♡꒷꒦︶

Di perjalanan pulang, Jungwon bertanya kepada Jaeyun tentang bagaimana diskusi antar anggota kerajaan berlangsung. "Bagaimana pertemuan tadi, Pangeran? Apakah ada hal menarik yang dibahas?" tanya Jungwon dengan penuh minat. Jaeyun mengangguk, menyadari ketertarikan Jungwon pada urusan kerajaan. "Pertemuan berjalan dengan baik, Jungwon. Kami membahas berbagai isu yang penting untuk kebaikan kerajaan," jawab Jaeyun dengan serius.

Jungwon menatap Jaeyun dengan penuh perhatian. "Apakah ada keputusan penting yang diambil?" tanyanya lagi. Jaeyun berpikir sejenak sebelum menjawab, "Ya, ada beberapa keputusan strategis yang diambil untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memperkuat kedudukan kerajaan." Jungwon mengangguk mengerti. "Bagus sekali, Pangeran. Saya yakin dengan kepemimpinan Tuan Raja, kerajaan akan terus maju ke depan," katanya dengan penuh keyakinan.

Saat sedang menikmati pemandangan dari balik jendela kereta kuda. Ia di gagal fokuskan dengan seseuatu. "Paman, bolehkah diberhentikan sebentar?" tanya Jaeyun ragu "Pangeran, mengapa ingin keretanya di berhentikan?" sela Jungwon, "Aku ingin memastikan sesuatu, won," jawab Jaeyun pada Jungwon. Setelah memperhentikan kereta. Jaeyun segera pergi kearah yang ingin ia tuju dan tak lupa Jungwon selalu bersamanya dibelakang. "Pangeran ingin memastikan apa?" tanya Jungwon sekali lagi, Jaeyun balik badan "Aku tadi melihat seperti seekor anakkan anjing," jawab Jaeyun.

Jungwon hanya mengangguk paham. Ia sudah paham dengan kebiasaan Pangeran muda ini, yang dari kecil selalu memunyai hewan peliharaan dan sangat menyayangi apapun hewan itu. "Pangeran apakah kita sudah sampai?" ujar Jungwon "Sepertinya sebentar lagi," jawabnya. Suara kilat menyambar suasana mereka berdua. Jaeyun cukup terkejut dengan suara kilat yang amat besar itu. "Jungwon, apakah kau ingat jalan pulang? sepertinya ini akan hujan" seru Jaeyun, Namun tak ada jawaban dari Jungwon. Jaeyun yang panik segera membalikkan bada untuk melihat. Nihil, itulah yang Jaeyun dapatkan sekarang. Tidak ada keberadaan Jungwon disana. Hal itu membuatnya takut setengah nyawanya.
︶꒦꒷♡꒷꒦︶

"Raja apakah itu kereta kuda milik Pangeran Jaeyun?" tanya pengendara kereta kuda milik Ratu dan Raja aka Bunda dan Ayah Jaeyun. Raja menfokuskan pandangannya pada kereta kuda yang di tunjuk oleh pengendara kereta kudanya "Ya! itu benar! itu milik Jaeyun Raja," panik Ratu, tak pakai lama Raja menyuruh pengemudi kereta kuda miliknya untuk mendekat kearah sana.

Raja dan Ratu turun untuk mendatangi kereta kuda tersebut. Namun nihil, tak ada siapapun disana kecuali kuda yang sedang memakan rumput rumput tinggi disitu. "Jaeyun!" panggil Ratu "Raja, bagaimana ini, Jaeyun tak dapat ditemukan" lanjut Ratu dengan nafas memburu. Raja tetap tenang tanpa ada rasa panik tertampang di wajahnya. Ratu menyeritkan dahinya bingung dengan reaksi yang di lontarkan oleh Raja.

Suara kaki datang kearah Ratu dan Raja. "Maafkan saya Tuanku, saya telah gagal menyelaksanakan perintah anda untuk menjaga Pangeran," bungkuk pengemudi kereta kuda milik Jaeyun. "Apa yang kau maksut? putraku hilang?" Ratu tak terima dengan omong kosong pengemudi kereta kuda itu "Katakan yang sebenarnya! Pangeran Jaeyun ada dimana!?" amarah Ratu telah memuncak, bagaimana tidak, anak semata wayangnya hilang ditelan bumi.

"Apakah pelayan pribadinya ikut dengannya?" tanya Raja pada pengemudi kereta kuda tersebut "Iya Rajaku," lalu ia menunjukkan arah ke barat "Saya melihat mereka pergi kearah sana, dan saya juga mendengar bahwa Pangeran ingin memastikan sesuatu dan ia menyuruh saya untuk berhenti." ujarnya.

︶꒦꒷♡꒷꒦︶

"Jungwon!" teriak Jaeyun. Hanya ada suara gema yang ia terima. Sekarang semakin malam, udara dingin telah menusuk kulit beningnya. Akhirnya ia memutuskan untuk berhenti mencari Jungwon dan duduk dibawah pohon rindang. Hanya ada suara jangkrik atau serigala yang sedang melolong nyaring. "Andai aku adalah seorang manusia serigala, mungkin di malam hari aku tak akan ketakutan, atau aku berubah menjadi malaikat," ucapnya sendiri.

Ditengah malam yang sunyi, Jaeyun mendengarkan suara langkah kaki mendekat pada dirinya. "Siapa di sana?" tanyanya dengan suara pelan, hatinya berdebar-debar karena tidak tahu siapa yang datang menghampirinya di tengah malam. Tak ada jawaban dari orang tersebut. Cahaya bulan yang samar-samar menerangi sosok yang mendekatinya. Jaeyun merasakan kegelisahan yang melonjak di dalam dirinya, tidak yakin apakah orang itu adalah teman atau musuh.

Saat Jaeyun melihat bayangan yang mendekatinya di kegelapan malam, perasaan keheranan menyelimutinya. Namun, ketika bayangan semakin jelas, Jaeyun dengan cepat mengenali wajah yang seharusnya tidak asing baginya. Ternyata, itu adalah Sunghoon, Pangeran dari kerajaan sebelah yang telah dikabarkan hilang selama beberapa waktu. "Ditakdirkan bertemu di malam yang gelap," gumam Jaeyun dalam hati, merasa campur aduk antara kejutan dan kelegaan melihat Sunghoon. Meskipun kabar hilangnya Sunghoon telah menjadi topik pembicaraan di kerajaan sekitar, Jaeyun tidak pernah mengharapkan bertemu dengannya di malam seperti ini. "Pangeran Sunghoon," sapa Jaeyun dengan suara hangat, ekspresinya penuh dengan kekaguman dan rasa simpati atas nasib yang menimpa Sunghoon.
︶꒦꒷♡꒷꒦︶

"Sudah cukup lama aku tinggal di sini sejak kabar hilangku tersebar," kata Sunghoon kepada Jaeyun, menjelaskan sedikit tentang situasinya. "Tapi tempat ini aman, setidaknya sementara. Aku ingin menjaga diriku sendiri, tanpa harus bergantung pada pengawal atau keramaian istana." Jaeyun mendengarkan dengan penuh perhatian, merasa simpati terhadap keadaan Sunghoon. "Aku mengerti," ujarnya dengan lembut. "Aku senang bisa membantumu. Dan, tentu saja, aku akan tinggal bersamamu untuk sementara waktu. Kita akan saling menjaga satu sama lain." Sunghoon tersenyum menghargai. "Terima kasih, Jaeyun. Aku merasa lega karena kamu di sini bersamaku." Dengan kehadiran Jaeyun di sampingnya, Sunghoon merasa lebih kuat dan lebih siap menghadapi masa depan yang penuh dengan ketidakpastian.

Sunghoon mempersilahkan Jaeyun untuk duduk di salah satu kursi yang tersedia di ruang tamu rumah tua itu. Sunghoon kemudian pergi ke dapur kecil di rumah tua itu untuk menyiapkan minuman coklat panas untuk mereka berdua. Suara gemerisik air dan aroma coklat yang harum mengisi udara, menciptakan suasana yang hangat dan nyaman di tengah malam yang dingin.

"Silakan nikmati coklat panas ini," ucap Sunghoon "Terima kasih," jawab Jaeyun, ia mengambil cangkir putih yang terisikan oleh coklat panas. "Maaf menanyakan hal ini, mengapa kau bisa di tengah hutan sendiri?'' tanya Sunghoon dengan menatap Jaeyun "Aku terpisah dengan pelayan pribadiku, Jungwon," Jaeyun yang awalnya meminum coklat panas itu menunduk, sebuah sentuhan dapat dirasakan oleh Jaeyun di bagian bahu. "Aku mengerti maksutmu, mari besok kita cari dia dan aku akan memulangkan dirimu." tegas Sunghoon, Jaeyun setuju dengan rencananya dan hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.

︶꒦꒷♡꒷꒦︶

Di dalam ruangan istana yang mewah, suasana menjadi tegang ketika Ratu dan Raja bertengkar dengan penuh emosi. Ratu, dengan ekspresi yang dipenuhi kekhawatiran dan amarah, menyalahkan Raja atas hilangnya Jaeyun. "Sim! Tega sekali dirimu mengasingkan Jaeyun?" bentak Ratu dengan suara yang gemetar karena kekhawatiran. "Kamu tahu betapa berharganya ia bagi kita, bagaimana bisa kamu membiarkan ini terjadi?"

Raja Sim, dengan wajah yang tegang dan penuh dengan keputusasaan, merasa terpojok oleh amarah Ratu. Namun, ia tetap tegar dalam pendiriannya. "Karena kerajaanku tak butuh raja selanjutnya yang terkutuk!" serunya dengan suara yang penuh dengan ketegasan. Keduanya saling menatap, atmosfer di ruangan itu dipenuhi dengan ketegangan dan keputusasaan. Konflik ini mengungkapkan perbedaan pandangan dan nilai antara Ratu dan Raja, serta ketidakpastian tentang masa depan kerajaan mereka.

Tersadar akan konsekuensi dari keputusannya untuk menuruti perintah Raja, Jungwon merasa terbebani oleh rasa penyesalan yang mendalam. Ia menundukkan kepalanya dengan penuh penyesalan, merenungkan keputusannya yang telah membawa dampak buruk bagi Jaeyun. "Maafkan aku, Pangeran Jaeyun," gumam Jungwon dalam hati, merasa bersalah karena telah menjadi bagian dari perintah yang menyebabkan Jaeyun terasingkan. Ia menyesali keputusannya untuk patuh pada perintah Raja tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi Jaeyun.

︶꒦꒷♡꒷꒦︶

Di pagi yang cerah, Sunghoon dan Jaeyun memutuskan untuk pergi ke sungai terdekat untuk membersihkan diri mereka setelah semalam yang panjang. Mereka berdua berjalan melalui hutan yang teduh, menikmati udara segar dan sinar matahari pagi yang menyapa mereka.

Sesampainya di sungai, air yang mengalir jernih dan sejuk terlihat mengundang. Sunghoon dan Jaeyun melepaskan pakaian mereka dan merendam diri di air sungai yang segar. "Jaeyun, apakah kau tahu tentang kutukan dari leluhur?" tanya Sunghoon dengan rasa ingin tahu yang jelas terpancar dari matanya. "Aku tahu sedikit," jawab Jaeyun "Aku salah satunya yang terkena kutukan itu" ucapan Sunghoon melemah namun masih bisa terdengar oleh Jaeyun. Dengan reflek Jaeyun memberi jarak lebih antara dia dan Sunghoon. "Tenang saja Jaeyun, aku tak berbahaya," ia membuang nafas "Sejujurnya aku bukan hilang, namun aku diasingkan oleh kerajaanku sendiri" ucapnya.

Jaeyun yang masih terkejut itu semakin terkejut dengan ungkapan yang diucapkan barusan oleh Sunghoon. "Kutukan itu berasil menguasai diriku saat malam bulan sabit." jelas Sunghoon. Hening, hanya satu kata bisa menggambarkan suasana mereka sekarang. "Jadi maksutmu," gagap Jaeyun "Kau terkena kutukan yang sama denganku, maka dari itu kau dibuang kemari, karena Ayahmu maksutku Raja Sim paham kalau kau terkena kutukan tersebut." Jaeyun yang masih tak percaya hal itu, ia menanyakan lagi kepada Sunghoon "umurmu berapa? dan bagaimana aku bisa terlahir dengan kutukan itu?" Sunghoon yang semula melihat pemandangan didepannya melirik Jaeyun "Karena kau terlahir di malam bulan sabit,"

︶꒦꒷♡꒷꒦︶

Sunghoon dan Jaeyun berhenti di tepi bangunan kerajaan milik keluarga Jaeyun, dan Sunghoon mengucapkan, "Sudah sampai." Ada jeda sebentar dalam percakapan mereka, yang memungkinkan seorang prajurit yang sedang berjaga melihat interaksi mereka dari kejauhan.

Prajurit itu awalnya mengira Sunghoon dan Jaeyun adalah seorang penyusup yang mencoba mendekati bangunan kerajaan secara ilegal. Namun, ketika ia mendekati mereka untuk mengejar, ia dengan jelas melihat bahwa salah satunya adalah Pangeran Jaeyun. Kehadiran Pangeran membuatnya bingung dan terkejut.

Dengan hormat, prajurit itu mendekati Jaeyun dan Sunghoon, lalu membungkukkan badannya sebagai tanda penghormatan. "Permisi, Pangeran Jaeyun," ucapnya dengan suara yang penuh dengan kepatuhan dan penghargaan. "Saya mohon izin untuk bertanya, apa yang membawa Anda ke sini, dan mengapa Anda bersama pria yang tampaknya tidak dikenal?" Jaeyun mengangguk, menghargai kesopanan dan kewaspadaan prajurit itu. "Kami pulang ke kerajaan," jawabnya dengan sopan, mencoba menjelaskan situasi tanpa memunculkan kecurigaan lebih lanjut. "Kami berdua melakukan perjalanan bersama untuk beberapa urusan pribadi, dan Pangeran Sunghoon di sini adalah teman yang memberi saya bantuan."

Sunghoon, meskipun sedikit terkejut dengan pertanyaan prajurit itu, tetap tenang dan menatap prajurit dengan sikap ramah. "Maafkan kami atas kebingungan ini," katanya dengan suara yang hangat. "Saya adalah Pangeran Sunghoon dari kerajaan sebelah. Saya dan Pangeran Jaeyun memiliki kepentingan yang sama dalam perjalanan ini, dan saya senang bisa membantu beliau."

Prajurit itu mengangguk mengerti, meskipun masih ada keraguan yang terpancar dari tatapannya. Namun, setelah mendengar penjelasan dari Jaeyun dan Sunghoon, ia merasa sedikit lega. "Saya memahami, Pangeran Jaeyun dan Pangeran Sunghoon," ucapnya dengan suara yang penuh dengan rasa hormat. "Terima kasih atas penjelasannya. Apakah saya bisa membantu Anda dengan sesuatu lagi?" Jaeyun dan Sunghoon menggeleng, menyatakan bahwa mereka sudah cukup diurus.

︶꒦꒷♡꒷꒦︶

"Lapor," jawab salah satu prajurit "Patroli kalian di hari ini sudah sampai sini," ucap kepala prajurit disana, reflek semua bawahannya itu membungkukkan badan berartian setuju. Namun ada salah satu prajurit yang tak membungkukkan dirinya seperti kawannya yang lain, "Hei, prajurit magang" tegas kepala prajurit tersebut "Siap," jawabnya "Kalau tidak salah kau bernama Riki ya, prajurit magang" anak yang dipanggil Riki tersebut mengangguk "Ada apa dengan dirimu? mengapa tak menghormati diriku seperti yang lainnya, hah!" keras kepala prajurit itu.

"Riki, segera membungkuk dan meminta maaf lah," ucap prajurit disebelahnya, Riki menghiraukannya. "Dasar bedebah cilik" umpatnya. "Lapor, pak" lantang Riki "Saya ingin melaporkan bahwa Pangeran Jaeyun telah kembali bersama orang asing yang bernama Pangeran Sunghoon" ucap Riki. Kepala prajurit menatap Riki dengan tatapan yang penuh dengan ketidakpuasan. "Kamu berani sekali menyebut nama Pangeran Jaeyun dengan begitu sembrono," katanya dengan suara yang keras, menyiratkan ketidakpuasan yang dalam.

Kepala prajurit menghela nafas dengan frustrasi, tetapi akhirnya mengangguk. "Baiklah, Anda dapat pergi. Saya akan menyelidiki laporan ini lebih lanjut," kata kepala prajurit dengan suara yang agak reda. Riki memberikan salam hormat dan meninggalkan tempat itu dengan langkah tegap. Meskipun ia menyadari bahwa tindakannya mungkin akan berdampak pada dirinya, ia tetap yakin bahwa ia telah melakukan yang benar dengan melaporkan apa yang ia lihat.

Riki hampir menutup pintu ruangan pertemuan antar prajurit ketika ia tiba-tiba dikejutkan oleh kehadiran Jungwon, pelayan pribadi Pangeran Jaeyun. Matanya membulat kaget dan ia sedikit terhenti dalam gerakannya. Jungwon berdiri di ambang pintu dengan ekspresi yang serius, memancarkan aura keteguhan dan keputusan. "Prajurit Riki," ucapnya dengan suara yang tenang namun tegas. "Saya perlu berbicara dengan Anda sebentar mengenai laporan yang Anda sampaikan." Riki menatap Jungwon dengan penuh keheranan, tidak terbiasa dengan intervensi dari seorang pelayan dalam urusan militer. Namun, ia tidak berani menolak permintaan Jungwon karena ia tahu bahwa kedudukan Jungwon sebagai pelayan pribadi Pangeran Jaeyun memberinya otoritas yang tak terbantahkan dalam hal-hal yang berkaitan dengan Pangeran.

︶꒦꒷♡꒷꒦︶

Kepala prajurit memasuki ruang kerja Raja Sim dengan langkah mantap. Raja Sim duduk di singgasananya, wajahnya menunjukkan ekspresi yang serius dan tegas. Begitu kepala prajurit mengucapkan salam hormat, Raja Sim mengangguk singkat sebagai tanda persetujuan untuk melanjutkan. "Demi apa kau mengganggu ketenangan ini?" tanya Raja Sim dengan suara yang tenang namun penuh dengan otoritas. Kepala prajurit menatap Raja Sim dengan serius. "Saya datang untuk melaporkan sesuatu yang penting, Raja," jawabnya dengan tegas. "Prajurit magang, Riki, telah melaporkan bahwa Pangeran Jaeyun kembali ke kerajaan bersama seorang pria yang bernama Pangeran Sunghoon." Raja Sim mendengarkan dengan seksama, namun ekspresinya tetap tak berubah. Namun, saat nama "Pangeran Sunghoon" disebutkan, ada kilatan kejutan singkat di matanya. Meskipun ia mencoba untuk menyembunyikan reaksinya, kepala prajurit dapat melihat bahwa Raja Sim tidak asing dengan nama tersebut. "Dapatkah kau memberikan deskripsi lebih lanjut tentang pria itu?" tanya Raja Sim dengan suara yang tenang namun penuh perhatian. Kepala prajurit memberikan deskripsi singkat tentang Pangeran Sunghoon, menjelaskan bahwa ia adalah pangeran dari kerajaan tetangga yang dikabarkan diasingkan karena kutukan yang diduga diturunkan dari leluhurnya. Raja Sim mendengarkan dengan serius, merenungkan informasi yang baru saja ia terima. Setelah mendengarkan laporan tersebut, Raja Sim berpikir sejenak sebelum akhirnya memberikan perintah. "Lanjutkan penyelidikanmu terhadap kedatangan Pangeran Jaeyun dan Pangeran Sunghoon. Beritahukan saya segera jika ada perkembangan lebih lanjut," ucapnya dengan suara yang mantap. Kepala prajurit memberikan salam hormat dan meninggalkan ruangan, meninggalkan Raja Sim dalam pikirannya yang dalam.

Saat kepala prajurit pergi, suasana ruangan menjadi hening. Namun, tiba-tiba, pintu ruangan terbuka dan dua sosok muncul di ambang pintu: Pangeran Jaeyun dan Pangeran Sunghoon. Kehadiran mereka mengundang pandangan kaget dari Raja Sim, yang tidak mengharapkan kedatangan mereka pada saat itu.

Saat Pangeran Jaeyun dan Pangeran Sunghoon tiba-tiba muncul di ruangan, Raja Sim berpura-pura kaget. Ia mengalihkan pandangannya sebentar seolah tidak mengenali mereka, lalu dengan cepat bergerak mendekati Jaeyun dan memeluknya. Jaeyun terkejut dengan reaksi ayahnya yang tiba-tiba ini, sebab sebelumnya Raja Sim selalu menolak mentah-mentahnya. Namun, dalam kejutan itu, ia merasa hangat oleh pelukan ayahnya. Sementara itu, Sunghoon yang melihat adegan tersebut merasa ada yang tidak beres. Ia merasa ada ketidakcocokan antara sikap Raja Sim yang pura-pura kaget dengan perilaku hangatnya terhadap Jaeyun. Meskipun begitu, wajah Raja Sim menarik perhatiannya, membuatnya merasa seperti pernah melihatnya sebelumnya. Raja Sim melepaskan pelukannya pada Jaeyun dan menatapnya dengan tulus. "Jaeyun, Ayah sangat merindukanmu," ucapnya dengan suara yang penuh emosi. "Ayah senang kau kembali." Jaeyun tersenyum ragu-ragu, masih terkejut dengan sikap ayahnya yang baru. Namun, ia merasa hangat oleh kata-kata dan pelukan Raja Sim. "Aku juga merindukanmu, Ayah," jawabnya dengan lirih. Sunghoon melihat interaksi antara Jaeyun dan Raja Sim dengan rasa haru. Meskipun ia masih bingung dengan sikap pura-pura kaget Raja Sim, ia merasa senang melihat hubungan hangat antara ayah dan anak itu.

︶꒦꒷♡꒷꒦︶


-qfs